Sunday, July 12, 2009

FIQH AD DAULAH - DEMOKRASI

FIQH AD DAULAH - DEMOKRASI

"Democracy is the worst form of Government except all those other forms that have been tried from time to time."

Winston Churchill 1874-1965: speech, House of Commons, 11 November 1947

1. Islam dan Demokrasi

Ada sebuah pertanyaan yang disampaikan seseorang dari AIgeria kepada kami: Saya tidak dapat menyembunyikan kekagetan dan kehairanan tatkala mendengar sebagian orang yang dikenal sangat bersemangat dan bercita-cita tinggi, yang sebagian di antara mereka juga menisbatkan diri kepada beberapa jama'ah Islam, bahawa demokrasi tidak diakui Islam. Bahkan sebagian ulama ada yang berpendapat bahawa demokrasi adalah kekufuran. Alasannya, kerana demokrasi bermakna pemberian bidang kuasa kepada rakyat untuk menetapkan hukum. Padahal rakyat dalam Islam bukan yang mene­tapkan hukum, tetapi Allahlah yang menentukan hukum sebagaimana firman-Nya,

"Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. " (Al-An'am: 57).

Hal ini seperti yang dikatakan golongan Khawarij yang terdahulu, yang kemudian disanggah Ali bin Abu Thalib dengan berkata, "Kata-kata yang benar namun dimaksudkan,batil."

Sementara sudah berkembang opini di kalangan penganut fahaman liberal dan para penyeru kebebasan, bahawa Islam merupakan musuh demokrasi, pembela kediktatoran dan otoriter.

Benarkah Islam merupakan musuh demokrasi? Benarkah demokrasi merupakan bahagian dari kekufuran atau kemungkaran seperti anggapan sebagian orang yang berpendapat seperti itu? Ataukah yang seperti ini hanya sekedar pendapat yang diatasnamakan Islam, padahal Islam terlepas dari pendapat itu?

Masalah ini perlu dijelaskan secara jelas oleh para ulama yang mo­derat, tidak cenderung untuk meremehkan dan juga tidak berlebih-lebihan, agar permasalahannya dapat diletakkan secara rapi, agar Islam ti­dak memikul kesalahan penafsiran yang tidak benar, sekalipun keluar dari kalangan ulama. Sebab bagaimana pun juga, mereka dapat salah dan dapat benar. Kami memohon kepada Allah agar Anda berkenan menampakkan kebenaran berdasarkan dalil-dalil syariat, menjelaskan mana yang benar mengenai masalah ini, menghilangkan syubhat dan menegakkan hujjah.

Inilah jawaban kami:

Memang sangat mendukacitakan kerana masalah ini dicampur aduk sedemikian rupa, yang haq dan yang batil dirancukan oleh orang-orang Muslim secara umum dan orang-orang yang berbicara atas nama agama secara khusus, sehingga kemudian muncul pertanyaan-pertanyaan seperti yang Anda sampaikan di atas. Tidak hairan jika kemudian tuduhan kufur atau fasik begitu mudah dilemparkan kepada seseorang. Seakan-akan da­lam pandangan syariat tuduhan ini tidak dianggap dosa besar, yang justru tuduhan itu lebih layak dialamatkan kepada orang yang melemparkan tuduhan kepada orang lain, seperti yang disebutkan di dalam hadits shahih.

Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan ini bukan sesuatu yang aneh bagi kami. Sebab pertanyaan-pertanyaan serupa tidak hanya diajukan se­kali dua kali tatkala kami sedang berada di Algeria, juga dengan pengung­kapan yang begitu gamblang: Apakah demokrasi merupakan kekufuran?

Selesai menyampaikan ceramah beberapa ketika yang lalu di Lebanon, tepatnya di kota Shaida, ada beberapa pertanyaan yang diajukan kepada kami, di antaranya tentang bergabungnya Parti Refah Islam di Turki dengan hukum sekuler-demokratik. Kami sampaikan jawaban kepada penanya, bahawa hukum di sini harus dilandaskan kepada fiqih muwazanah (perimbangan). Jika dilihat ada kemaslahatan bagi Islam dan kaum Muslimin dapat terwujud, maka penggabungan tersebut diperbolehkan. Penanya itu berkata lagi, "Bagaimana mungkin bergabung dengan hukum seseorang yang berfaham demokratik dan ideologinya disebut kufur?” Tolong huraikan Permasalahan ini.

2. Hukum tentang Sesuatu Merupakan Cabang dari Konsepsinya

Yang sangat menghairankan, ada sebagian orang yang menghukumi demokrasi sebagai kekufuran yang jelas dan pasti. Padahal dia belum tahu secara persis apa itu demokrasi, belum menyusup ke inti pengertiannya dan substansinya, tanpa terkecoh oleh gambaran dan topiknya.

Kaedah yang sudah disepakati para ulama kita terdahulu adalah: "Hukum tentang sesuatu merupakan cabang dari konsepsinya". Barang­siapa menetapkan hukum tentang sesuatu padahal dia tidak mengetahuinya secara pasti, maka ketetapan hukumnya itu dianggap cacat, sekalipun mungkin secara kebetulan benar. Sebab tindakan ini seperti lemparan yang tidak diketahui siapa yang melempar. Oleh kerana itu disebutkan dalam sebuah hadits shahih, bahawa hakim yang menetapkan hukum tanpa menge­tahui permasalahannya, akan berada di neraka, seperti orang yang menge­tahui kebenaran namun menetapkan yang lain.

Apakah demokrasi seperti yang digembar-gemburkan semua bangsa di dunia, yang dibela oleh semua golongan yang ada di Barat dan di Timur, yang dicapai berbagai bangsa setelah berperang mati-matian melawan penguasa diktator, sehingga banyak darah yang tertumpah, beribu-ribu dan bahkan berjuta-juta orang jatuh menjadi korban, seperti yang terjadi di Eropah Timur dan tempat-tempat lainnya, yang dilihat orang-orang Muslim sebagai sarana yang paling ampuh untuk melawan dominasi kekuasaan pribadi dan politik seperti yang dialami beberapa negara Arab dan Islam, apakah demokrasi ini termasuk kemungkaran atau kekufuran seperti yang dilontarkan sebagian orang yang berpikiran dangkal?


  1. Apakah Substansi Demokrasi?

    Substansi demokrasi, terlepas dari berbagai definisi dan istilah-isti­lah akademik, adalah suatu proses pemilihan yang melibatkan banyak orang untuk mengangkat seseorang (calun) yang berhak memimpin dan mengurus keadaan mereka. Tentu saja mereka tidak akan mengangkat seseorang yang tidak mereka sukai atau sistem yang mereka benci. Mereka berhak memperhitungkan pemimpin yang melakukan kesalahan, berhak memecat dan menggantinya dengan orang lain jika menyimpang. Mereka tidak boleh digiring kepada suatu trend atau fahaman ekonomi, sosial atau politik yang tidak mereka kenal atau tidak mereka sukai. Jika ada di antara mereka yang memberontak terhadap kekuasaannya, maka mereka layak mendapat hukuman.

    Inilah substansi yang hakiki dari demokrasi, yang memberikan bentuk dan beberapa sistem praktikal, seperti pemilihan umum, meminta pendapat rakyat, menegaskan ketetapan majoriti, multiparti politik, hak minoriti yang bertentangan, kebebasan pers dan mengeluarkan pendapat, otoritas pengadilan dan lain-lainnya.

    Apakah demokrasi dengan substansi yang kita sebutkan ini berten­tangan dengan Islam? Dari sisi mana pertentangan ini? Dalil mana yang diambilkan dari Al-Kitab dan Sunnah, yang menunjukkan pengertian ini?

    4. Substansi Demokrasi Sejalan dengan Islam

    Siapa yang memperhatikan substansi demokrasi, tentu akan meliiiat bahawa justru ianya berasal dari Islam. Islam menolak seseorang menjadi imam shalat yang tidak disukai orang-orang yang menjadi makmum di belakangnya. Di dalam hadits disebutkan,

    "Tiga golongan yang shalatnya tidak dapat naik di atas kepala mereka sekalipun hanya sejengkal...." lalu beliau menye­butkan yang pertama di antaranya, "Seseorang yang mengimami suatu kaum dan mereka tidak suka kepadanya." (Diriwayatkan Ibnu Majah).

    Jika dalam shalat saja urusannya seperti ini, lalu bagaimana dengan berbagai urusan kehidupan yang lain dan politik? Di dalam sebuah hadits shahih disebutkan,

    "Sebaik-baik para pemimpin kalian adalah yang kalian mencintai mereka dan mereka mencintai kalian, yang kalian mendoakan mereka dan mereka mendoakan kalian, dan seburuk-buruk para pemimpin kalian adalah yang kalian membenci mereka dan mereka membenci kalian, yang kalian mengutuk mereka dan mereka mengu­tuk kalian. " (Diriwayatkan Muslim).

    5. Serangan Al-Qur'an terhadap Tiran-tiran Yang Menuhankan Diri di Bumi

    Al-Qur'an melancarkan- serangan terhadap tiran-tiran yang menu­hankan diri di bumi, yang memaksa hamba-hamba Allah sebagai ham­banya, seperti perbuatan Namrud yang disebutkan di dalam Al-Qur'an, lalu dihadapi Ibrahim Alaihis-Salam,

    "Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang mendebat Ibrahim tentang Rabbnya (Allah) kerana Allah telah memberikan kepada orang itu pemerintahan (kekuasaan). Ketika Ibrahim mengatakan, Rabbku ialah Yang menghidupkan dan mematikan', orang itu ber­kata, 'Saya dapat menghidupkan dan mematikan'. Ibrahim berkata, 'Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, maka terbit­kanlah is dari barat'. Lalu hairan terdiamlah orang kafir itu; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zhalim. " (A1-Bagarah: 258).

    Thaghut ini (Namrud) mendakwa bahawa dia dapat menghidupkan dan mematikan, seperti yang dilakukan Rabb Ibrahim yang menghidupkan dan mematikan. Dengan dakwaannya ini dia berharap manusia tunduk kepadanya, sebagaimana mereka tunduk kepada Rabb Ibrahim. Puncak perbualannya yang dapat menghidupkan dan mematikan ini terjadi saat muncul dua orang yang berlalu di jalan, lalu dia, menitahkan agar dua orang itu dibunuh sekalipun mereka berdua tidak melakukan kesalahan macam apa pun. Maka seketika itu pula salah seorang di antara keduanya dibunuh, lalu dia berkata, "Lihat, sekarang aku sudah mematikannya". Sementara orang yang satu lagi tidak jadi dibunuh dan dibiarkan hidup. Untuk itu dia berkata, "Lihat, sekarang aku sudah menghidupkannya. Bukankah dengan begini aku sudah dapat menghidupkan dan mematikan?"

    Contoh lain adalah Fir'aun, yang berkata di tengah kaumnya,

    "Aku adalah sesembahan kalian yang paling tinggi. " (An-Nazi'at: 24).

    Dengan sombong dia berkata,

    "Hai pembesar kaumku, aku tidak mengetahui sesembahan bagi kalian selain aku. " (Al-Qashash: 38).

    Al-Qur'an telah mengungkap persekutuan yang kotor antara tiga pihak, yaitu:

    1. Pemimpin yang bermaharajalela atau Tiran di bumi Allah dan mengu­asai hamba-hamba Allah, yang tecermin pada diri Fir'aun.

    2. Politikus penjilat yang membanggakan kecerdikan dan pengalamannya dalam mengabdi kepada pemimpin thaghut, mempengarubi kebijak­sanaan kekuasaannya dengan berbagai cara untuk menundukkan rak­yat, yang tecermin pada diri Haman.

    3. Kapitalis yang feodalistik dan berkolusi dengan penguasa zhalim, yang mendukung penguasa itu dengan hadiah-hadiah yang dikucurkannya, dengan tujuan agar dia memperoleh masukan yang lebih besar dengan cara memeras keringat dan darah rakyat, yang tecermin pada diri Qarun.

    Tiga orang yang saling berkolusi ini telah disebutkan di dalam Al-Qur'an sebagai orang-orang yang menyebarkan dosa dan permusuhan. Mereka bertiga menghadang risalah Musa, hingga akhirnya Allah men­jatuhkan hukuman yang mengerikan kepada mereka;

    "Dan, sesungguhnya telah Kami utui Musa dengan membawa ayat-ayat Kami dan keterangan yang nyata, kepada Firaun, Haman dan Qarun, maka mereka berkata, '(Ia) adalah seorang ahli sihir yang pendusta'. " (Al-Mukmin: 23-24).


"Dan (juga) Qarun, Fir'aun dan Haman, dan sesungguhnya telah, datang kepada mereka Musa dengan, (membawa bukti-bukti) keterangan-keterangan yang nyata. Tetapi mereka berlaku sombong di muka bumf, dan tiadalah mereka orang-orang yang luput (dari kehancuran itu). " (Al-Ankabut: 39).

Yang aneh, Qarun adalah seseorang yang berasal dari kaum Musa, bukan dari kaum Fir'aun. Tetapi justru dia menindas kaumnya sendiri dan memilih bergabung dengan musuh mereka, Fir'aun. Dengan senang hati Fir'aun menerima kehadiran Qarun. Ini menundukkan bahawa kepentingan materiallah yang telah menyatukan mereka berdua, sekalipun ras dan keturunannya berbeza.

6. Al-Qur'an Mengaitkan Tirani dengan Kerusakan

Di antara pesona Al-Qur'an, is mengaitkan antara tirani dengan penyebaran kerusakan, yang menjadi sebab kehancuran umat. Allah befirman,

"Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Rabbmu berbuat - terhadap kaum Ad?, (yaitu) penduduk Iram yang mempunyai ba­ngunan-bangunan yang tinggi, yang belum pernah dibangun (suatu kota) seperti itu, di negeri-negeri lain, dan kaum Tsamud yang memotong batu-batu besar di lembah, dan kaum Fir'aun yang mem­punyai pasak pasak (tentara yang banyak), yang berbuat sewenang­wenang dalam negeri, lalu mereka berbuat banyak kerusakan dalam negeri itu. " (AI-Fajr: 6-12).

Kadang-kadang Al-Qur'an mengistilahkan Ath-thughyan (tirani) dengan lafazh al-uluw atau kesombongan dan memaksa manusia untuk tunduk kepada pelakunya, sebagaimana firman Allah tentang Fir'aun,

"Sesungguhnya dia adalah orang yang sombong, salah seorang dari orang-orang yang melampaui batas. " (Ad-Dukhan: 31).

"Sesungguhnya Fir'aun telah berbuat sewenang-wenang di muka bumi dan menjadikan penduduknya berpecah belah, dengan menin­das segolongan dari mereka, menyembelih anak laki-laki mereka dan membiarkan hidup anak-anak perempuan mereka. Sesungguh­nya Fir'aun termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan. " (Al­Qashash: 4).

Begitulah kita melihat kesombongan dan kerusakan yang saling kait-mengait.

7. Al-QuranMencela Orang-orang Yang Tunduk kepada Tiran

Al-Qur'an tidak membatasi serangannya terhadap para tiran yang menuhankan dirinya, tetapi serangan ini jugs tertuju kepada rakyat dan orang-orang yang mengikuti perintahnya, bergabung ke dalam kelom­poknya dan tunduk kepada kemauannya. Al-Qur'an juga membebankan tanggung jawab kepada mereka, di samping kepada tiran. Allah befirman tentang kaum Nuh,

"Nuh berkata, 'Wahi Rabbku, sesungguhnya mereka telah mendur­hakaiku, dan telah mengikuti orang-orang yang harta dan anak-anak­nya tidak menambah kepadanya melainkan kerugian. " (Nuh: 21).

Allah befirman tentang Ad kaum Hud,

"Dan, itulah (kisah) kaum Ad yang menginkari tanda-tanda keku­asaan Rabb mereka, dan mendurhakai rasul-rasul Allah dan mereka ' menuruti perintah semua penguasa yang sewenang-wenang lagi menentang (kebenaran). " (Hud: 59).

Allah befirman tentang kaum Fir'aun,

"Tetapi mereka mengikuti perintah Fir'aun, padahal perintah Fir­'aun itu sekali-kali bukanlah (perintah) yang benar. Ia berjalan di muka kaumnya di hari kiamat lalu memasukkan mereka ke dalam neraka. Neraka itu seburuk-buruk tempat yang didatangi. " (Hud: 97-98).

Rakyat dibebani tanggung jawab atau sebahagian dari tanggung jawab tersebut, kerana mereka tunduk kepada tiran. Inilah yang kemudian diple­setkan oleh manusia, bahawa ada yang bertanya kepada Firaun, "Apa yang dapat engkau banggakan?" Fir'aun menjawab, "Aku tidak mendapatkan seorang pun yang membelaku.

Yang paling banyak memikul beban di `samping paia tiran adalah struktur-struktur kekuasaan, yang di dalam Al-Quran disebut "Junud” atau tentara, yang maksudnya adalah kekuatan militer yang men­jadi cakar dan taring kekuasaan atau cemeti yang sangat ditakuti rakyat bila sudah berbicara.

"Sesunggguhnya Fir'aun dan Haman 'beserta tentaranya adalah orang-orang yang bersalah. " (Al-Qashash: 8).

"Maka Kami hukum Firaun dan bala tentaranya, lalu Kami lem­parkan mereka ke dalam laut Maka lihatlah bagaimana akibat orang-orang yang zhalim. " (Al-Qashash: 40).

8. Serangan Sunnah Nabawy terhadap Tiran

Sunnah Nabawy juga melancarkan serangan terhadap para tiran dan pemimpin zhalim, yang berkuasa dengan menggunakan tongkat dan keke­rasan. Jika tiran ini berkata, maka perkataannya tidak boleh disanggah. Tiran semacam ini akan bergulung-gulung di neraka seperti bergulung-gu­lung di atas tempat tidur. Sunnah juga melancarkan serangan terhadap orang; orang yang ikut berjalan dalam prosesi tiran, ikut menyalakan dupa di tangannya, iaitu orang-orang yang ikut mendukung kezhalimannya. Bahkan Sunnah memperingatkan umat yang dikuasai perasaan takut, sehingga untuk berkata, "Wahai orang zhalim!" kepada orang yang me­mang diketahui berbuat zalim pun mereka tidak berani.

Diriwayatkan dari Abu Musa, bahawa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

"Sesungguhnya di dalam neraka Jahannam ada sebuah lembah. Di lembah itu ada sebuah sumur yang disebut Habhab. Ada hak bagi Allah untuk menempatkan di dalamnya setiap pemimpin yang sewe­nang-wenang lagi menentang kebenaran. " (Diriwayatkan AI-Hakim dan Ath-Thabrany).[1]


Dari Mu'awiyah, bahawa Nabi SAW ber­sabda,"Sepeninggalku akan muncul para pemimpin yang berkata dan perkataannya tidak boleh disanggah. Mereka melompat-lompat seperti kera yang suka melompat-lompat. " (Diriwayatkan Ath­Thabrany dan Abu YaIla).[2]

Dari Jabir, bahawa Nabi SAW bersabda ke­pada Ka'ab bin Ujrah, "Semoga Allah melindungimu dari kepemimpinan orang-orang yang bodoh wahai Ka'b!" Ka'b bertanya, "Apakah kepemimpinan orang-orang yang bodoh itu?" Baginda menjawab, "Iaitu para pemimpin sesudahku yang tidak mengikuti petunjukku dan Sunnahku. Barangsiapa membenarkan kedustaan mereka dan menolong kezhaliman mereka, maka mereka itu bukan termasuk golonganku dan aku bukan termasuk golongan mereka. Mereka tidak akan mengembalikan tempat airku kepadaku. Barangsiapa yang tidak membenarkan kedustaan mereka, tidak menolong kezhaliman mereka, maka mereka itu termasuk golonganku dan aku termasuk golongan mere­ka, dan mereka akan mengembalikan tempat airku kepadaku." (Diriwayat­kan Ahmad dan Al-Bazzar).[3]

Dari Mu'awiyah secara marfu', "Suatu umat tidak akan disucikan selagi hak di dalamnya tidak dipenuhi dan orang yang lemah tidak dapat mengambil haknya dari yang kuat selain dari goyangan." (Diriwayatkan Ath-Thabrany).

Dari Abdullah bin Amr, secara marfu', "Apabila engkau melihat umatku takut berkata kepada orang zhalim, 'Hai orang zhalim!' maka mereka layak diberi ucapan selamat tinggal." (Diriwayatkan Ahmad).

--------------------------------------------------------------------------------

[1] Sebagaimana yang dikatakan AI-Mundziry di Daam At-Targhib wat-Tarhib, isnad hadits ini hasan.

[2] Hadis ini disebut dalam Sahih Jami’ Shaghir, no 3615.

[3] Rijalnya sahih sebagaimana disebut dalam At-Targhib wa Tarhib.

9. Syura, Nasihat, Perintah dan Larangan

Islam menetapkan Syura sebagai salah satu sendi kehidupan Islam, dan mewajibkan seorang pemimpin untuk meminta pendapat atau bermu­syawarah dengan orang lain. Islam juga mewajibkan umat untuk memberi nasihat. Bahkan Islam menjadikan nasihat sebagai gambaran dari seluruh agama. Nasihat itu bagi para pemimpin kaum Muslimin.

Islam juga menjadikan amar ma'ruf nahi munkar sebagai kewajiban yang sudah pasti, bahkan menganggap jihad yang paling utama adalah perkataan yang benar di hadapan tiran. Dengan kata lain, Islam menjadikan usaha meluruskan tirani dan kerusakan internal lebih baik di sisi Allah daripada menghadapi serangan dari luar. Sebab keadaan yang pertama seringkali menjadi pemicu datangnya serangan dari pihak luar.

10. Pemimpin dalam Perspektif Islam

Pemimpin dalam perspektif Islam merupakan wakil dari umat, atau lebih tepatnya pegawai umat. Di antara hak yang mendasar, wakil layak diperhitungkan atau perwakilan itu dicabut jika memang dikehendaki, terutama jika orang yang mewakili mengabaikan berbagai kewajiban yang harus dilakukannya.

Pemimpin dalam Islam bukan penguasa yang sifar dari kesalahan. Tapi dia adalah manusia biasa yang dapat salah dan benar, dapat adil dan pilih kasih. Menjadi hak kaum Muslimin untuk meluruskan pemimpin yang berbuat salah dan melempangkan penyimpangannya.

Inilah yang dinyatakan para pemimpin kaum Muslimin yang terbesar setelah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, yaitu Al-Khulafa'ur­rasyidun yang mengikuti petunjuk. Kita diperintahkan untuk mengikuti sunnah mereka dan menggigitnya kuat-kuat dengan gigi geraham. Kerana sunnah mereka merupakan kepanjangan dari Sunnah beliau.

Khalifah yang pertama, Abu Bakar berkata dalam pidato pertama­nya, "Wahai semua manusia, sesungguhnya aku telah diangkat menjadi pemimpin kalian, padahal aku bukanlah orang yang terbaik dari kalian. Jika kalian melihat aku berada di atas kebenaran, maka tolonglah aku, dan jika kalian melihat aku berada di atas kebatilan, maka luruskanlah aku. Taatlah kepadaku selagi aku takut kepada Allah di tengah kalian, dan jika aku durhaka kepada-Nya, maka tidak ada kewajiban bagi kalian untuk taat kepadaku."

Khalifah yang kedua, Umar bin Al-Khaththab berkata, "Semoga Allah merahmati seseorang yang menunjukkan kekurangan diriku kepada­ku. " Dia juga berkata, "Wahai sekalian manusia, barangsiapa di antara kalian melihat penyimpangan pada diriku, maka hendaklah dia meluruskan aku." Pernah seseorang yang muncul dari himpunan orang ramai dan menimpali perbutaan Umar, "Demi Allah wahai putra Al-Khaththab, jika kami melihat penyimpangan pada dirimu, nescaya kami akan melurus­kannya dengan ketajaman pedang kami."

Ada seorang wanita yang menyanggah pendapat Umar tatkala se­dang menyampaikannya di atas podium. Dia sama sekali tidak marah melihat perbuatan wanita tersebut, bahkan dia berkata,Wanita itu benar dan Umar yang salah.

Ali bin Abu Thalib berkata kepada seseorang yang menyanggah perkataannya tentang suatu urusan, "Engkau benar dan aku salah." Lalu dia membawa ayat Al-Qur'an,

"Dan, di atas tiap-tiap orang yang berpengetahuan itu ada lagi Yang Maha Mengetahui. " (Yusuf: 76)

11. Kelebihan Sistem Demokrasi

Sesungguhnya Islam lebih dulu memancangkan sendi-sendi bangun­an substansi demokrasi. Tapi rinciannya diserahkan kepada ijtihad orang­orang Muslim, sesuai dengan dasar-dasar agamanya, kemaslahatan dunia­nya, perkembangan hidupnya menurut pertimbangan tempat dan waktu serta trend kehidupan manusia.


Di antara kelebihan sistem demokrasi yang pernah diperjuangkan secara mati-matian dalam menghadapi para tiran, ialah menuntun ke bebe­rapa bentuk dan sarana, yang hingga kini dianggap sebagai satu-satunya sistem yang memberi jaminan keselamatan bagi rakyat dari jarahan tangan para tiran, sekalipuri sistem ini tidak lepas dari cacat dan kekurangan, seperti lazimnya perbuatan manusia yang tidak lepas dari kekurangan.

Tidak ada salahnya bagi manusia, pemikir dan para pemimpinnya untuk mencari alternatif sistem lain yang lebih ideal dan lebih baik, tapi harus lebih mudah diterapkan dalam kehidupan manusia. Kami berpenda­pat, tidak ada salahnya jika kita mengambil pelajaran dari sistem demokrasi, sebagai sarana untuk mewujudkan keadilan dan suara, menghormati hak-hak manusia, menghadang langkah para tiran di muka bumi.

Di antara kaedah penetapan hukum yang sudah berlaku ialah:

"Apa­bila yang wajib tidak dapat menjadi sempurna kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu pun hukumnya wajib."

Di samping itu, tujuan-tujuan syariat yang dituntut suatu sarana untuk memujudkannya, maka sarana ini ter­masuk dalam hukum tujuan itu. Tidak ada satu pun ketetapan syariat yang berisi larangan mengambil pemikiran teoritis maupun pemecahan praktikal dari non-Muslimin.

Sewaktu Perang Al-Ahzab, Nabi SAW mengambil pemi­kiran dengan cara menggali parit. Ini merupakan cara yang biasa dipergu­nakan dari bangsa Persi.

Beliau juga memanfaatkan para tawanan perang Badr dari orang­orang musyrik yang dapat baca tulis, untuk mengajari anak-anak Muslim, sekalipun mereka itu orang-orang musyrik. Inilah yang disebut hikmah. Dan, hikmah adalah barang orang Mukmin yang hilang lalu ditemukan lagi. Jadi dia lebih berhak terhadap barang itu.

Seperti yang sudah kami isyaratkan dalam berbagai buku dan tulisan kami, bahawa ada baiknya jika kita mengambil pemikiran, sistem, metode dan aturan yang bermanfaat bagi kita, selagi tidak bertentangan dengan nash yang jelas makna dan hukumnya dap kaedah hukum yang tetap. Kita dapat merembug hal-hal yang kita ambil itu, kita tambahi apa yang dapat ditambahkan dan kita singkirkan jenisnya yang asli.

Dari sini kita dapat mengambil tatacara demokrasi dan kandungan-­kandungannya yang sesuai dengan diri kita. Kita dapat menyaring dan membenahinya. Kita tidak perlu mengambil filsafatnya yang dapat meng­halalkan yang haram, mengharamkan yang halal atau yang menggugurkan kewajiban.

12. Pemilihan Umum Termasuk jenis Pemberian Kesaksian

Jika kita memperhatikan sistem pemilihan umum atau pemberian suara, maka kita akan melihat bahawa ternyata menurut Islam hal ini termasuk kesaksian kelayakan yang diberikan kepada calun. Maka setiap pemilih harus memenuhi syarat-syarat yang harus dipenuhi seorang saksi, seperti harus adil dan diridhai perilakunya. Firman Allah,

"Dan, persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kalian. " (Ath-Thalaq: 2).

"...dari saksi-saksi yang kalian ridhai. " (Al-Baqarah: 282).

Syarat-syarat adil dan sifat-sifat lainnya dapat kita ringankan, sesuai dengan kondisi. Kesaksian ini dapat diberikan umat dengan jumlah seba­nyak-banyaknya.

Siapa yang memberikan kesaksian kepada calun yang tidak layak untuk dipilih, berarti dia telah melakukan dosa besar, kerana sama dengan memberikan kesaksian palsu. Bahkan Allah menyebutkan perbuatan ini setelah syirik kepada Allah,

"Oleh kerana itu jauhilah oleh kalian berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan perkataan dusta. " (Al-Hajj: 30).

'Siapa yang memberikan kesaksian atau suara kepada calun dengan pertimbangan bahawa calun itu merupakan kerabatnya atau orang yang berasal dari satu daerah atau kerana untuk mendapatkan keuntungan pribadi, berarti dia menyalahi perintah Allah. Firman-Nya

"Dan, hendaklah kalian tegakkan keadilan itu kerana Allah. " (Ath­Thalaq: 2).

Barangsiapa yang tidak menggunakan hak pilihnya, sehingga calun yang mestinya layak dipilih menjadi kalah dan suara majoriti jatuh kepada calun yang sebenarnya tidak layak, berarti dia telah menyalahi perintah Allah untuk memberikan kesaksian pada saat dia dibutuhkan untuk memberikan kesaksiannya. Firman-Nya,

"Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil. " (Al-Baqarah: 282).

"Dan, janganlah kalian (para saksi) menyembunyikan persaksian­nya, dan barangsiapa menyembunyikannya, maka sesungguhnya dia adalah orang yang berdosa hatinya. " (Al-Baqarah: 283).

Dengan menambahkan petunjuk-petunjuk tentang pemilihan umum ini, maka jadilah ia sebagai tatanan Islam, sekalipun pada dasarnya sistem ini kita import dari luar.

13. Hukum Rakyat dan Hukum Allah

Yang ingin kami tegaskan sejak semula, bahawa substansi demokrasi adalah sejalan dengan substansi Islam, iaitu jika kita kembali kepada rujukan-rujukannya yang asli dan menimba dari sumber-sembernya yang jernih, dari Al-Qur'an dan Sunah serta perilaku Al-Khulafa'ur-rasyidun, bukan dari sejarah para pemimpin yang zhalim, raja-raja yang buruk, fatwa-fatwa para ulama yang dekat dengan para penguasa dan yang menye­satkan, atau fatwa-fatwa dari orang-orang yang sebenarnya mukhlis, tapi berpikiran dangkal dan suka bertindak secara terburu-buru.


Ada yang mengatakan, kerana demokrasi itu merupakan hukum bagi rakyat oleh rakyat, yang berarti harus menolak pendapat yang mengatakan bahawa kedaulatan pembuat hukum hanya milik Allah, ini merupakan pen­dapat yang tidak dapat diterima. Prinsip hukum milik rakyat, yang meru­pakan asas demokrasi, tidak bertentangan dengan prinsip hukum milik Allah yang merupakan asas penetapan hukum dalam Islam. Tapi ia ber­tentangan dengan prinsip hukum milik individu, yang merupakan asas diktatorisme.

Seruan untuk menerapkan sistem demokrasi bukan semestinya menolak kedaulatan Allah untuk menetapkan hukum bagi manusia. Orang-­orang yang menyeru kepada demokrasi sama sekali tidak pernah berfikir sampai di sini. Kerana yang mereka tuju hanya sekedar menolak dikta­torisme yang berkuasa, menolak kekuasaan para penguasa yang sewenang-­wenang, yang pada saat sekarang lazim disebut Kejam.

Benar. Yang mereka maksudkan dari demokrasi ialah pemberdayaan rakyat untuk memilih para penguasa seperti yang mereka kehendaki, memperhitungkan perilaku mereka, menolak perintah mereka jika berten­tangan dengan undang-undang negara, yang jika diistilahkan menurut Islam: Jika mereka memerintah kepada maksiat. Mereka berhak memecat para penguasa itu jika menyimpang, tidak mau menerima nasihat dan peringatan.

14. Maksud Prinsip Kedaulatan Penetapan Hukum bagi Allah

Di sini perlu kami pertegas sekali lagi, bahawa prinsip kedaulatan penetapan hukum milik Allah merupakan prinsip Islam yang pokok, yang ditetapkan semua ulama tatkala mereka membahas masalah hukum syariat. Mereka sepakat bahawa yang menetapkan hukum adalah Allah. Sedangkan Nabi SAW merupakan penyampainya. Allahlah yang berhak memerintah dan melarang, menghalalkan dan mengharam­kan, membuat dan menetapkan hukum.

Tentang pendapat golongan Khawarij, "Tidak ada hukum kecuali milik Allah", memang pendapat yang benar. Tetapi yang tidak benar ada­lah tindakan mereka yang meletakkan kalimat, ini tidak pada tempatnya dan penggunaan kalimat ini sebagai dalil untuk menolak pengangkatan manusia sebagai pengadil jika terjadi perselisihan. Tentu saja hal ini ber­tentangan dengan nash Al-Qur'an yang menetapkan diperbolehkannya mengangkat manusia sebagai pengadil di antara suami istri yang sedang cekcok dan perselisihan.

Oleh kerana itu Amirul-Mukminin, Ali bin Abu Thalib menolak pendapat mereka itu dengan berkata, "Kata-kata yang benar namun dimak­sudkan batil. " Perkataan mereka itu benar, tetapi sayang mereka memak­sudkannya secara batil. Bagaimana mungkin kata-kata itu tidak dikatakan benar, sementara ia diambilkan dari nash Al-Quranyang jelas,

"Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah." (Al-An'am: 57 dan Yusuf: 40).

Kedaulatan Allah untuk menetapkan hukum bagi makhluk sudah jelas dan diyakini, yang meliputi dua macam:

1. Kedaulatan penetapan hukum alam berdasarkan takdir. Dengan kata lain, Allahlah yang menciptakan alam, menangani segala urusan yang berjalan di dalamnya, menetapkan sunnah-sunnahnya yang. tidak dapat diubah-ubah, yang diketahui maupun yang tidak diketahui, seperti yang disebutkan dalam firman-Nya,

2. Kedaulatan menetapkan hukum yang diperintahkan, yaitu berupa pembebanan, perintah, larangan, keharusan dan pilihan, yang tecermin dengan diutusnya para rasul dan diturunkannya kitab-kitab. Dengan ke­daulatan ini Dia menetapkan hukum-hukum syariat, mewajibkan yang wajib, menghalalkan yang halal dan mengharamkan yang haram.

Hal ini tidak ditolak seorang Muslim yang ridha kepada Allah se­bagai Rabb, kepada Islam sebagai agama, kepada Muhammad sebagai Nabi dan Rasul.

Orang Muslim yang mengajak kepada sistem demokrasi, dengan pertimbangan kerana demokrasi itu merupakan bentuk penetapan hukum yang menyatu dengan prinsip-prinsip politik Islam dalam memilih seorang pemimpin dan menetapkan Syura, melaksanakan amar ma'ruf nahi munkar, melawan kesewenang-wenangan, menolak kedurhakaan, teru­tama jika kedurhakaan itu sudah menjurus kepada kufur yang jelas berdasarkan bukti keterangan dari Allah.

Di antara bukti yang menguatkan hal ini, dalam teks undang-undang ada yang berbunyi: "Agama daulah adalah Islam dan syariat Islam menjadi rujukan undang-undang." Ini menguatkan kedaulatan Allah dalam mene­tapkan hukum dan kedaulatan syariat-Nya.

Teks undang-undang itu dapat ditambahi lagi agar lebih jelas: "Setiap undang-undang atau hukum yang bertentangan dengan ketetapan syariat yang kongkrit, adalah batil." Jadi ini merupakan penguatan dan bukan penetapan dasar.

Jadi ajakan untuk menerapkan sistem demokrasi ini tidak mesti menganggap hukum rakyat sebagai pengganti dari hukum Allah, selagi tidak ada pertentangan di antara keduanya.

"Dan, apakah mereka tidak melihat bahawa sesungguhnya Kami mendatangi daerah-daerah (orang-orang kafir), lalu Kami kurangi daerah-daerah itu (sedikit demi sedikit) dari tepi-tepinya? Dan, Allah menetapkan hukum (menurut kehendak-Nya), tidak ada yang dapat menolak ketetapan-Nya, dan Dialah Yang Maha cepat hisab­Nya. " (Ar-Ra'd: 41).

Makna yang langsung dapat difahami di sini, bahawa hukum Allah itu adalah hukum alam yang berjalan menurut takdir, bukan hukum syariat yang diperintahkan.

15. Apakah Penetapan Hukum Berdasarkan Suara Majoriti Tidak Diakui Islam?

Di antara bukti yang diajukan golongan Muslimin yang berpendapat bahawa demokrasi merupakan prinsip yang diimpor dan tidak ada kaitannya dengan Islam, kerana demokrasi mengenal penetapan hukum berdasarkan suara majoriti (cara voting), dan cara ini termasuk sah dalam mengangkat pemimpin, menuntaskan masalah dan memilih salah satu dari beberapa pendapat yang berbeza-beza. Pemberian suara dalam demokrasi meru­pakan hukum dan rujukan. Pendapat apa pun yang dihasilkan dari suara majoriti secara tidak terbatas atau terbatas, kadang-kadang merupakan pendapat yang harus diterapkan, sekalipun terkadang itu merupakan pendapat yang salah atau pun batil.


Masih menurut pendapat mereka, Islam tidak menegaskan pendapat dengan cara seperti ini, Tetapi melihat bagaimana pendapat itu, apakah is benar ataukah salah. Jika benar dapat diterapkan sekalipun hanya menda­patkan satu suara atau bahkan tidak mendapat suara sama sekali. Jika salah harus disingkirkan, sekalipun mendapat sembilan puluh sembilan suara dari seratus jumlah totalnya. Bahkan beberapa nash Al-Qur'an menunjuk­kan bahawa golongan majoriti itu selalu berada di barisan yang batil dan di sisi thaghut, sebagaimana firman-Nya,

"Dan, jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di maka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. " (Al-An'am: 116).

"Dan, sebagian benar manusia tidak akan beriman, walaupun kamu sangat menginginkannya. " (Yusuf: 103).

Bahkan dalam Al-Qur'an seringkali disebutkan secara berulang-­ulang kalimat seperti berikut ini,

"Tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. "

"Tetapi kebanyakan manusia tidak berpikir. "

"Tetapi kebanyakan manusia tidak beriman. "

"Tetapi kebanyakan manusia tidak bersyukur. "

Di sisi lain Al-Qur'an menunjukkan bahawa para pelaku kebaikan merupakan golongan minoriti, sebagaimana firman-Nya,

"Dan sedikit sekali di antara hamba-hamba-Ku yang bersyukur. " (Saba': 13).

"Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang shalih, dan amat sedikitlah mereka ini. " (Shad:, 24).

Pendapat ini tidak dapat diterima, kerana terjadi pencampuran dan kerancuan. Seharusnya kita membicarakan demokrasi di masyarakat Muslim, kerana toh masih banyak di antara mereka yang mengetahui, berpikir, beriman dan bersyukur. Kita tidak perlu membicarakan apa yang terjadi di masyarakat kafir atau menyimpang dari. jalan Allah.

16. Hukum-hukum Yang Qathei Tidak Dapat Dicampuri Keputusan Melalui Pungutan Suara (Voting)

Di sana ada hal-hal yang tidak dapat dicampuri sistem voting dan tidak terbuka dengan cara pungutan suara, kerana hal-hal itu termasuk qathei dan tidak memerlukan perubahan, kecuali, jika masyarakatnya itu sendiri yang memang sudah berubah dan bukan lagi masyarakat Muslim.

Tidak ada tempat bagi sistem voting untuk memasuki ketetapan-­ketetapan syariat yang sudah Qathei dan dasar-dasar agama serta hal-hal yang sudah diketahui secara pasti. Sistem voting hanya berlaku dalam hal-hal yang bersifat ijtihad, yang biasanya dapat mengundang lebih dari satu pendapat, dan memang dapat dimaklumi jika manusia saling berbeza pendapat, seperti upaya memilih salah seorang dari beberapa calun un­tuk menduduki suatu jabatan, termasuk jabatan sebagai pemimpin daulah. Contoh lain mengenai pembuatan undang-undang untuk mengurus lalu lintas, membangun kemudahan-kemudahab perdagangan, perindustrian, rumah sakit dan lain-lainnya yang termasuk "Kemaslahatan tak terbatas" menurut istilah para fuqaha'. Contoh lainnya lagi seperti penetapan untuk mengumumkan perang atau tidak, penetapan pajak tertentu atau tidak, penetapan masa jabatan pemimpin, penetapan pemilihan umum dan lain-lainnya.

Jika ada perselisihan pendapat mengenai masalah-masalah ini, apakah akan digantung begitu saja? Apakah harus ada pengunggulan tanpa ada yang diunggulkan, ataukah memang harus ada yang diunggulkan?

18. Otokrasi Politik Merupakan Sumber Musibah Yang Menimpa Umat

Musibah yang pertama kali menimpa umat Islam dalam perjalanan sejarahnya adalah meremehkan fungsi Syura dan kerana sistem khilafah yang dijalankan Al-Khulafa'ur-rasyidun beralih ke sistem kerajaan, yang sebagian shahabat menyebutnya sama dengan sistem kekuasaan Kisra Persi atau Qaishar Romawi. Dengan kata lain, sistem otokrasi imperium dialih­kan kepada orang-orang Muslim, yang dianggap sebagai kekuasaan yang dihadiahkan Allah. Memang mereka hendak menimba pengalaman, tetap berkewajiban menjauhi kedurhakaan dan kehinaan yang dapat menghancur­kan daulah. Tetapi sayang, mereka mengimport sesuatu yang paling buruk dalam kehidupan berpolitik, yaitu otokrasi dan menyombongkan kekuasa­annya di muka bumi. Padahal seharusnya kekuasaan itu dipegang orang­orang yang tidak menghendaki kesombongan dan kerusakan di bumi.

Apa yang menimpa Islam, umat dan dakwahnya pada zaman seka­rang tiada lain kerana berasal dari sistem otokrasi yang mengebiri manusia dengan pedang kehormatan dan emasnya. Syariat disingkirkan, seku­larisme diterapkan dan manusia dicekoki westernisasi, yang semuanya dilakukan dengan menggunakan tangan besi dan tekanan. Dakwah dan harakah Islam digebuki, para da'i diancam, sedangkan yang menyimpang dibiarkan tetap menyimpang, dan semuanya harus tunduk kepada sistem otokrasi, dengan berlindung di balik demokrasi yang palsu, sesuai dengan scenario yang sudah dirancang berbagai kekuatan yang memusuhi Islam, atau sengaja menggiringnya dengan berkilah di balik undang-undang.

19. Kebebasan Berpolitik Merupakan Keperluan Asas pada Zaman Sekarang

Islam tidak akan bangkit, dakwahnya tidak akan menyebar, kebang­kitannya tidak akan tampak dan penyakitnya akan terus menggerogoti, kecuali jika ia diberi kebebasan yang tidak hanya terbatas, sehingga ada peluang baginya untuk berjalan berdampingan dengan fitrah manusia yang menyertainya, memperdengarkan adzan yang dirindukannya dan memberi kepuasaan kepada akal.

Peperangan pertama yang dihadapi dakwah harakah dan kebang­kitan Islam pada zaman sekarang adalah peperangan melawan kebebasan. Maka mereka yang masih memiliki ghirah terhadap Islam harus membentuk satu barisan untuk terjun ke sana dan sekaligus mempertahankannya. Tidak ada yang dibutuhkan selain kebebasan itu.


Perlu juga kami tegaskan di sini, sebenarnya kami termasuk orang yang kurang suka menggunakan istilah-istilah asing, seperti istilah demo­krasi atau yang serupa, untuk mengungkapkan beberapa pengertian Islam. Kami lebih suka menggunakan istilah-istilah Islam untuk mengungkapkan nilai dan pengertian-pengertian Islam. Sebab hanya cara inilah yang paling tepat untuk mengungkapkan jati diri dan kelebihan kita.

Tetapi jika suatu istilah sudah merebak dan semua orang meng­gunakannya, mau tidak mau kita tidak dapat menutup telinga menutup mata. Kita harus tahu apa yang dimaksudkannya, agar kita tidak memahaminya menurut pengertiannya yang hakiki, atau kita menginterpretasikannya tidak secara tepat atau tidak seperti yang dikehendaki orang-orang yang menyatakannya. Dengan cara ini kita dapat menghukuminya secara benar dan berimbang. Kita tidak perlu risau kerana kata-kata ini berasal dari selain kita. Yang menjadi pertimbangan hukum bukan terletak pada nama atau istilahnya, tetapi apa yang ada di balik nama itu.

Hampir semua da'i dan penulis Muslim menggunakan istilah demo­krasi ini, dan menurut mereka hal itu bukan merupakan halangan. Bahkan Ustadz Abbas Mahmud Al-Aqqad menulis sebuah buku dengan judul Ad-Dimuqrathiyah Al-Islamiyyah (Demokrasi Islam). Yang terhitung kele­wat batas dalam menanggapi Ustadz Khalid Muhammad Khalid, yang menganggap demokrasi adalah Islam itu sendiri. Tanggapan untuk semua ini sudah kami sajikan dalam buku Ash-Shahwah AI-Islamiyah wa Humu­mul-Wathaniyin Al-Arahy wal-Islamy. Siapa yang ingin mengetahui lebih lanjut mengenai masalah ini, dapat membaca buku tersebut.

Banyak orang Muslim yang berharap kepada demokrasi sebagai satu bentuk hukum, jaminan untuk kebebasan, perlindungan keamanan dan kesewenang-wenangan penguasa, sehingga demokrasi yang hakiki dapat mencerminkan kehendak umat, bukan kehendak penguasa secara peribadi dan golongannya. Mengangkat demokrasi tidak culcup hanya dengan menyebarluaskan ruhnya pada sekali waktu, membuka pintu penjara untuk orang-orang merdeka, menggunakan cemeti untuk dilecutkan di punggung orang-orang yang suci, dengan campur tangan militer untuk menjerat leher. Jika dikatakan kepada penguasa, "Mengapa demokrasi seperti itu tidak diterapkan?" Boleh jadi dia menjawab, "Tidak perlu."

Kami termasuk orang-orang yang berharap kepada demokrasi de­ngan sifat-sifatnya sebagai sarana yang mudah untuk mewujudkan tujuan dalam kehidupan yang tehormat, agar dalam suasana demokrasi ini kami dapat menyeru kepada Allah dan kepada Islam seperti yang kita imani, tanpa harus menyeret diri kita ke tiang gantungan. Di samping tujuan ini, agar rakyat mendapatkan kehidupan yang bebas dan tehormat, memperoleh hak untuk memilih para pemimpin, memperhitungkan dan memecatnya jika menyimpang, tanpa harus mengobarkan revolusi atau pertumpahan darah. Inilah demokrasi yang sangat diharapkan.

20. Syura Adalah Lembaga Yang Menetapkan dan Bukan Sekedar Pemberi Masukan

Hingga kini masih ada sebagian ulama,yang berpendapat bahawa Syura hanya sekedar memberi masukan dan bukan sebagai badan yang menetapkan. Pemimpin dapat meminta pertimbangan, tetapi tidak harus tunduk kepada pendapat Ahli Syura, yang notabenenya merupakan Ahlul­halli 'wal-aqdi (badan legislatif).

Pendapat ini sudah pernah kami sanggah di tulisan lain, dengan sedikit penjelasan, bahawa Syura tidak ada artinya sama sekali jika pemim­pin meminta pertimbangan dari Ahli Syura, namun kemudian dia berbuat berdasarkan pertimbangan yang terbaik menurut dirinya sendiri, seraya menyingkirkan pendapat Ahli Syura. Bagaimana mungkin mereka disebut Ahlul-halli wal-aqdi seperti yang dikenal dalam sejarah peninggalan kita, namun dalam kenyataannya mereka tidak dapat memecahkan dan menyim­pulkan?

Ibnu Katsir menyebutkan di dalam Tafsir-nya, dari Ibnu Marduwaih, dari Ali bin Abu Thalib Radhiyallahu Anhu, bahawa dia pernah ditanya tentang makna "Membulatkan tekad" dalam firman Allah (Ali Imran: 159), "Dan, bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Ke­mudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. " Maka dia menjawab, "Artinya meminta pertimbangan Ahli Syura lalu mengikutinya."

Jika dalam satu masalah ada dua pendapat, maka tetap saja ada pernyataan untuk mengikuti Syura, sekalipun umat kita hingga kini masih dikuasai otokrasi.

Sekalipun ada perbezaan pendapat, jika umat atau segolongan umat berpendapat untuk kembali kepada pendapat Syura, tentu perbezaan pendapat itu dapat disingkirkan, dan mengikuti suatu pendapat yang me­mang sudah disepakati bersama merupakan keharusan menurut syariat. Orang-orang Muslim berhak menetapkan syarat. Maka jika seorang pemimpin sudah terpilih dengan syarat-syarat tersebut, dia harus me­menuhinya dan meminta pendapat dari orang lain. Kerana seperti yang kami katakan, orang-orang Muslim i'u berhak menetapkan syarat. Semen­tara memenuhi janji merupakan suatu kewajiban.

"Dan, tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kalian berjanji dan janganlah kalian membatalkan sumpah-sumpah (kalian) itu, se­sudah meneguhkannya, sedang kalian telah menjadikan Allah seba­gai saksi kalian. " (An-Nahl: 91).

Pada saat Abdurrahman bin Auf ra mengajukan kepada Ali bin Thalib agar orang-orang berbaiat kepadanya untuk melak­sanakan Al-Kitab, Sunnah dan apa yang sudah dikerjakan Abu Bakar dan Umar yang menjadi khalifah sebelumnya, maka dia menolaknya. Ertinya Ali tidak mau mengikuti apa yang sudah dikerjakan Abu Bakar dan Umar. Sebab jika dia menerima tawaran itu, berarti dia harus melaksanakannya. Ali bin Abu Thalib menolaknya, kerana dia adalah seorang pemimpin yang berhak untuk berijtihad sendiri dan memiliki sisi pandang sendiri yang ten­tunya berbeza dengan sisi pandang keduanya, kerana kondisi dan wak­tunya sudah berbeza. Sementara sebelum dia, Utsman dibaiat seperti itu. Yang dapat disaksikan dari kejadian ini, bahawa siapa yang dibaiat umat dengan syarat tertentu, maka dia harus memenuhinya menurut ke­sanggupannya.

Dengan begitu Syura Islam serupa dengan ruh demokrasi. Atau dapat saja engkau berkata, "Substansi demokrasi serupa dengan ruh Syura Islam."

No comments: