Sunday, July 12, 2009

FIQH AD DAULAH - DEMOKRASI

FIQH AD DAULAH - DEMOKRASI

"Democracy is the worst form of Government except all those other forms that have been tried from time to time."

Winston Churchill 1874-1965: speech, House of Commons, 11 November 1947

1. Islam dan Demokrasi

Ada sebuah pertanyaan yang disampaikan seseorang dari AIgeria kepada kami: Saya tidak dapat menyembunyikan kekagetan dan kehairanan tatkala mendengar sebagian orang yang dikenal sangat bersemangat dan bercita-cita tinggi, yang sebagian di antara mereka juga menisbatkan diri kepada beberapa jama'ah Islam, bahawa demokrasi tidak diakui Islam. Bahkan sebagian ulama ada yang berpendapat bahawa demokrasi adalah kekufuran. Alasannya, kerana demokrasi bermakna pemberian bidang kuasa kepada rakyat untuk menetapkan hukum. Padahal rakyat dalam Islam bukan yang mene­tapkan hukum, tetapi Allahlah yang menentukan hukum sebagaimana firman-Nya,

"Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. " (Al-An'am: 57).

Hal ini seperti yang dikatakan golongan Khawarij yang terdahulu, yang kemudian disanggah Ali bin Abu Thalib dengan berkata, "Kata-kata yang benar namun dimaksudkan,batil."

Sementara sudah berkembang opini di kalangan penganut fahaman liberal dan para penyeru kebebasan, bahawa Islam merupakan musuh demokrasi, pembela kediktatoran dan otoriter.

Benarkah Islam merupakan musuh demokrasi? Benarkah demokrasi merupakan bahagian dari kekufuran atau kemungkaran seperti anggapan sebagian orang yang berpendapat seperti itu? Ataukah yang seperti ini hanya sekedar pendapat yang diatasnamakan Islam, padahal Islam terlepas dari pendapat itu?

Masalah ini perlu dijelaskan secara jelas oleh para ulama yang mo­derat, tidak cenderung untuk meremehkan dan juga tidak berlebih-lebihan, agar permasalahannya dapat diletakkan secara rapi, agar Islam ti­dak memikul kesalahan penafsiran yang tidak benar, sekalipun keluar dari kalangan ulama. Sebab bagaimana pun juga, mereka dapat salah dan dapat benar. Kami memohon kepada Allah agar Anda berkenan menampakkan kebenaran berdasarkan dalil-dalil syariat, menjelaskan mana yang benar mengenai masalah ini, menghilangkan syubhat dan menegakkan hujjah.

Inilah jawaban kami:

Memang sangat mendukacitakan kerana masalah ini dicampur aduk sedemikian rupa, yang haq dan yang batil dirancukan oleh orang-orang Muslim secara umum dan orang-orang yang berbicara atas nama agama secara khusus, sehingga kemudian muncul pertanyaan-pertanyaan seperti yang Anda sampaikan di atas. Tidak hairan jika kemudian tuduhan kufur atau fasik begitu mudah dilemparkan kepada seseorang. Seakan-akan da­lam pandangan syariat tuduhan ini tidak dianggap dosa besar, yang justru tuduhan itu lebih layak dialamatkan kepada orang yang melemparkan tuduhan kepada orang lain, seperti yang disebutkan di dalam hadits shahih.

Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan ini bukan sesuatu yang aneh bagi kami. Sebab pertanyaan-pertanyaan serupa tidak hanya diajukan se­kali dua kali tatkala kami sedang berada di Algeria, juga dengan pengung­kapan yang begitu gamblang: Apakah demokrasi merupakan kekufuran?

Selesai menyampaikan ceramah beberapa ketika yang lalu di Lebanon, tepatnya di kota Shaida, ada beberapa pertanyaan yang diajukan kepada kami, di antaranya tentang bergabungnya Parti Refah Islam di Turki dengan hukum sekuler-demokratik. Kami sampaikan jawaban kepada penanya, bahawa hukum di sini harus dilandaskan kepada fiqih muwazanah (perimbangan). Jika dilihat ada kemaslahatan bagi Islam dan kaum Muslimin dapat terwujud, maka penggabungan tersebut diperbolehkan. Penanya itu berkata lagi, "Bagaimana mungkin bergabung dengan hukum seseorang yang berfaham demokratik dan ideologinya disebut kufur?” Tolong huraikan Permasalahan ini.

2. Hukum tentang Sesuatu Merupakan Cabang dari Konsepsinya

Yang sangat menghairankan, ada sebagian orang yang menghukumi demokrasi sebagai kekufuran yang jelas dan pasti. Padahal dia belum tahu secara persis apa itu demokrasi, belum menyusup ke inti pengertiannya dan substansinya, tanpa terkecoh oleh gambaran dan topiknya.

Kaedah yang sudah disepakati para ulama kita terdahulu adalah: "Hukum tentang sesuatu merupakan cabang dari konsepsinya". Barang­siapa menetapkan hukum tentang sesuatu padahal dia tidak mengetahuinya secara pasti, maka ketetapan hukumnya itu dianggap cacat, sekalipun mungkin secara kebetulan benar. Sebab tindakan ini seperti lemparan yang tidak diketahui siapa yang melempar. Oleh kerana itu disebutkan dalam sebuah hadits shahih, bahawa hakim yang menetapkan hukum tanpa menge­tahui permasalahannya, akan berada di neraka, seperti orang yang menge­tahui kebenaran namun menetapkan yang lain.

Apakah demokrasi seperti yang digembar-gemburkan semua bangsa di dunia, yang dibela oleh semua golongan yang ada di Barat dan di Timur, yang dicapai berbagai bangsa setelah berperang mati-matian melawan penguasa diktator, sehingga banyak darah yang tertumpah, beribu-ribu dan bahkan berjuta-juta orang jatuh menjadi korban, seperti yang terjadi di Eropah Timur dan tempat-tempat lainnya, yang dilihat orang-orang Muslim sebagai sarana yang paling ampuh untuk melawan dominasi kekuasaan pribadi dan politik seperti yang dialami beberapa negara Arab dan Islam, apakah demokrasi ini termasuk kemungkaran atau kekufuran seperti yang dilontarkan sebagian orang yang berpikiran dangkal?


  1. Apakah Substansi Demokrasi?

    Substansi demokrasi, terlepas dari berbagai definisi dan istilah-isti­lah akademik, adalah suatu proses pemilihan yang melibatkan banyak orang untuk mengangkat seseorang (calun) yang berhak memimpin dan mengurus keadaan mereka. Tentu saja mereka tidak akan mengangkat seseorang yang tidak mereka sukai atau sistem yang mereka benci. Mereka berhak memperhitungkan pemimpin yang melakukan kesalahan, berhak memecat dan menggantinya dengan orang lain jika menyimpang. Mereka tidak boleh digiring kepada suatu trend atau fahaman ekonomi, sosial atau politik yang tidak mereka kenal atau tidak mereka sukai. Jika ada di antara mereka yang memberontak terhadap kekuasaannya, maka mereka layak mendapat hukuman.

    Inilah substansi yang hakiki dari demokrasi, yang memberikan bentuk dan beberapa sistem praktikal, seperti pemilihan umum, meminta pendapat rakyat, menegaskan ketetapan majoriti, multiparti politik, hak minoriti yang bertentangan, kebebasan pers dan mengeluarkan pendapat, otoritas pengadilan dan lain-lainnya.

    Apakah demokrasi dengan substansi yang kita sebutkan ini berten­tangan dengan Islam? Dari sisi mana pertentangan ini? Dalil mana yang diambilkan dari Al-Kitab dan Sunnah, yang menunjukkan pengertian ini?

    4. Substansi Demokrasi Sejalan dengan Islam

    Siapa yang memperhatikan substansi demokrasi, tentu akan meliiiat bahawa justru ianya berasal dari Islam. Islam menolak seseorang menjadi imam shalat yang tidak disukai orang-orang yang menjadi makmum di belakangnya. Di dalam hadits disebutkan,

    "Tiga golongan yang shalatnya tidak dapat naik di atas kepala mereka sekalipun hanya sejengkal...." lalu beliau menye­butkan yang pertama di antaranya, "Seseorang yang mengimami suatu kaum dan mereka tidak suka kepadanya." (Diriwayatkan Ibnu Majah).

    Jika dalam shalat saja urusannya seperti ini, lalu bagaimana dengan berbagai urusan kehidupan yang lain dan politik? Di dalam sebuah hadits shahih disebutkan,

    "Sebaik-baik para pemimpin kalian adalah yang kalian mencintai mereka dan mereka mencintai kalian, yang kalian mendoakan mereka dan mereka mendoakan kalian, dan seburuk-buruk para pemimpin kalian adalah yang kalian membenci mereka dan mereka membenci kalian, yang kalian mengutuk mereka dan mereka mengu­tuk kalian. " (Diriwayatkan Muslim).

    5. Serangan Al-Qur'an terhadap Tiran-tiran Yang Menuhankan Diri di Bumi

    Al-Qur'an melancarkan- serangan terhadap tiran-tiran yang menu­hankan diri di bumi, yang memaksa hamba-hamba Allah sebagai ham­banya, seperti perbuatan Namrud yang disebutkan di dalam Al-Qur'an, lalu dihadapi Ibrahim Alaihis-Salam,

    "Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang mendebat Ibrahim tentang Rabbnya (Allah) kerana Allah telah memberikan kepada orang itu pemerintahan (kekuasaan). Ketika Ibrahim mengatakan, Rabbku ialah Yang menghidupkan dan mematikan', orang itu ber­kata, 'Saya dapat menghidupkan dan mematikan'. Ibrahim berkata, 'Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, maka terbit­kanlah is dari barat'. Lalu hairan terdiamlah orang kafir itu; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zhalim. " (A1-Bagarah: 258).

    Thaghut ini (Namrud) mendakwa bahawa dia dapat menghidupkan dan mematikan, seperti yang dilakukan Rabb Ibrahim yang menghidupkan dan mematikan. Dengan dakwaannya ini dia berharap manusia tunduk kepadanya, sebagaimana mereka tunduk kepada Rabb Ibrahim. Puncak perbualannya yang dapat menghidupkan dan mematikan ini terjadi saat muncul dua orang yang berlalu di jalan, lalu dia, menitahkan agar dua orang itu dibunuh sekalipun mereka berdua tidak melakukan kesalahan macam apa pun. Maka seketika itu pula salah seorang di antara keduanya dibunuh, lalu dia berkata, "Lihat, sekarang aku sudah mematikannya". Sementara orang yang satu lagi tidak jadi dibunuh dan dibiarkan hidup. Untuk itu dia berkata, "Lihat, sekarang aku sudah menghidupkannya. Bukankah dengan begini aku sudah dapat menghidupkan dan mematikan?"

    Contoh lain adalah Fir'aun, yang berkata di tengah kaumnya,

    "Aku adalah sesembahan kalian yang paling tinggi. " (An-Nazi'at: 24).

    Dengan sombong dia berkata,

    "Hai pembesar kaumku, aku tidak mengetahui sesembahan bagi kalian selain aku. " (Al-Qashash: 38).

    Al-Qur'an telah mengungkap persekutuan yang kotor antara tiga pihak, yaitu:

    1. Pemimpin yang bermaharajalela atau Tiran di bumi Allah dan mengu­asai hamba-hamba Allah, yang tecermin pada diri Fir'aun.

    2. Politikus penjilat yang membanggakan kecerdikan dan pengalamannya dalam mengabdi kepada pemimpin thaghut, mempengarubi kebijak­sanaan kekuasaannya dengan berbagai cara untuk menundukkan rak­yat, yang tecermin pada diri Haman.

    3. Kapitalis yang feodalistik dan berkolusi dengan penguasa zhalim, yang mendukung penguasa itu dengan hadiah-hadiah yang dikucurkannya, dengan tujuan agar dia memperoleh masukan yang lebih besar dengan cara memeras keringat dan darah rakyat, yang tecermin pada diri Qarun.

    Tiga orang yang saling berkolusi ini telah disebutkan di dalam Al-Qur'an sebagai orang-orang yang menyebarkan dosa dan permusuhan. Mereka bertiga menghadang risalah Musa, hingga akhirnya Allah men­jatuhkan hukuman yang mengerikan kepada mereka;

    "Dan, sesungguhnya telah Kami utui Musa dengan membawa ayat-ayat Kami dan keterangan yang nyata, kepada Firaun, Haman dan Qarun, maka mereka berkata, '(Ia) adalah seorang ahli sihir yang pendusta'. " (Al-Mukmin: 23-24).


"Dan (juga) Qarun, Fir'aun dan Haman, dan sesungguhnya telah, datang kepada mereka Musa dengan, (membawa bukti-bukti) keterangan-keterangan yang nyata. Tetapi mereka berlaku sombong di muka bumf, dan tiadalah mereka orang-orang yang luput (dari kehancuran itu). " (Al-Ankabut: 39).

Yang aneh, Qarun adalah seseorang yang berasal dari kaum Musa, bukan dari kaum Fir'aun. Tetapi justru dia menindas kaumnya sendiri dan memilih bergabung dengan musuh mereka, Fir'aun. Dengan senang hati Fir'aun menerima kehadiran Qarun. Ini menundukkan bahawa kepentingan materiallah yang telah menyatukan mereka berdua, sekalipun ras dan keturunannya berbeza.

6. Al-Qur'an Mengaitkan Tirani dengan Kerusakan

Di antara pesona Al-Qur'an, is mengaitkan antara tirani dengan penyebaran kerusakan, yang menjadi sebab kehancuran umat. Allah befirman,

"Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Rabbmu berbuat - terhadap kaum Ad?, (yaitu) penduduk Iram yang mempunyai ba­ngunan-bangunan yang tinggi, yang belum pernah dibangun (suatu kota) seperti itu, di negeri-negeri lain, dan kaum Tsamud yang memotong batu-batu besar di lembah, dan kaum Fir'aun yang mem­punyai pasak pasak (tentara yang banyak), yang berbuat sewenang­wenang dalam negeri, lalu mereka berbuat banyak kerusakan dalam negeri itu. " (AI-Fajr: 6-12).

Kadang-kadang Al-Qur'an mengistilahkan Ath-thughyan (tirani) dengan lafazh al-uluw atau kesombongan dan memaksa manusia untuk tunduk kepada pelakunya, sebagaimana firman Allah tentang Fir'aun,

"Sesungguhnya dia adalah orang yang sombong, salah seorang dari orang-orang yang melampaui batas. " (Ad-Dukhan: 31).

"Sesungguhnya Fir'aun telah berbuat sewenang-wenang di muka bumi dan menjadikan penduduknya berpecah belah, dengan menin­das segolongan dari mereka, menyembelih anak laki-laki mereka dan membiarkan hidup anak-anak perempuan mereka. Sesungguh­nya Fir'aun termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan. " (Al­Qashash: 4).

Begitulah kita melihat kesombongan dan kerusakan yang saling kait-mengait.

7. Al-QuranMencela Orang-orang Yang Tunduk kepada Tiran

Al-Qur'an tidak membatasi serangannya terhadap para tiran yang menuhankan dirinya, tetapi serangan ini jugs tertuju kepada rakyat dan orang-orang yang mengikuti perintahnya, bergabung ke dalam kelom­poknya dan tunduk kepada kemauannya. Al-Qur'an juga membebankan tanggung jawab kepada mereka, di samping kepada tiran. Allah befirman tentang kaum Nuh,

"Nuh berkata, 'Wahi Rabbku, sesungguhnya mereka telah mendur­hakaiku, dan telah mengikuti orang-orang yang harta dan anak-anak­nya tidak menambah kepadanya melainkan kerugian. " (Nuh: 21).

Allah befirman tentang Ad kaum Hud,

"Dan, itulah (kisah) kaum Ad yang menginkari tanda-tanda keku­asaan Rabb mereka, dan mendurhakai rasul-rasul Allah dan mereka ' menuruti perintah semua penguasa yang sewenang-wenang lagi menentang (kebenaran). " (Hud: 59).

Allah befirman tentang kaum Fir'aun,

"Tetapi mereka mengikuti perintah Fir'aun, padahal perintah Fir­'aun itu sekali-kali bukanlah (perintah) yang benar. Ia berjalan di muka kaumnya di hari kiamat lalu memasukkan mereka ke dalam neraka. Neraka itu seburuk-buruk tempat yang didatangi. " (Hud: 97-98).

Rakyat dibebani tanggung jawab atau sebahagian dari tanggung jawab tersebut, kerana mereka tunduk kepada tiran. Inilah yang kemudian diple­setkan oleh manusia, bahawa ada yang bertanya kepada Firaun, "Apa yang dapat engkau banggakan?" Fir'aun menjawab, "Aku tidak mendapatkan seorang pun yang membelaku.

Yang paling banyak memikul beban di `samping paia tiran adalah struktur-struktur kekuasaan, yang di dalam Al-Quran disebut "Junud” atau tentara, yang maksudnya adalah kekuatan militer yang men­jadi cakar dan taring kekuasaan atau cemeti yang sangat ditakuti rakyat bila sudah berbicara.

"Sesunggguhnya Fir'aun dan Haman 'beserta tentaranya adalah orang-orang yang bersalah. " (Al-Qashash: 8).

"Maka Kami hukum Firaun dan bala tentaranya, lalu Kami lem­parkan mereka ke dalam laut Maka lihatlah bagaimana akibat orang-orang yang zhalim. " (Al-Qashash: 40).

8. Serangan Sunnah Nabawy terhadap Tiran

Sunnah Nabawy juga melancarkan serangan terhadap para tiran dan pemimpin zhalim, yang berkuasa dengan menggunakan tongkat dan keke­rasan. Jika tiran ini berkata, maka perkataannya tidak boleh disanggah. Tiran semacam ini akan bergulung-gulung di neraka seperti bergulung-gu­lung di atas tempat tidur. Sunnah juga melancarkan serangan terhadap orang; orang yang ikut berjalan dalam prosesi tiran, ikut menyalakan dupa di tangannya, iaitu orang-orang yang ikut mendukung kezhalimannya. Bahkan Sunnah memperingatkan umat yang dikuasai perasaan takut, sehingga untuk berkata, "Wahai orang zhalim!" kepada orang yang me­mang diketahui berbuat zalim pun mereka tidak berani.

Diriwayatkan dari Abu Musa, bahawa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

"Sesungguhnya di dalam neraka Jahannam ada sebuah lembah. Di lembah itu ada sebuah sumur yang disebut Habhab. Ada hak bagi Allah untuk menempatkan di dalamnya setiap pemimpin yang sewe­nang-wenang lagi menentang kebenaran. " (Diriwayatkan AI-Hakim dan Ath-Thabrany).[1]


Dari Mu'awiyah, bahawa Nabi SAW ber­sabda,"Sepeninggalku akan muncul para pemimpin yang berkata dan perkataannya tidak boleh disanggah. Mereka melompat-lompat seperti kera yang suka melompat-lompat. " (Diriwayatkan Ath­Thabrany dan Abu YaIla).[2]

Dari Jabir, bahawa Nabi SAW bersabda ke­pada Ka'ab bin Ujrah, "Semoga Allah melindungimu dari kepemimpinan orang-orang yang bodoh wahai Ka'b!" Ka'b bertanya, "Apakah kepemimpinan orang-orang yang bodoh itu?" Baginda menjawab, "Iaitu para pemimpin sesudahku yang tidak mengikuti petunjukku dan Sunnahku. Barangsiapa membenarkan kedustaan mereka dan menolong kezhaliman mereka, maka mereka itu bukan termasuk golonganku dan aku bukan termasuk golongan mereka. Mereka tidak akan mengembalikan tempat airku kepadaku. Barangsiapa yang tidak membenarkan kedustaan mereka, tidak menolong kezhaliman mereka, maka mereka itu termasuk golonganku dan aku termasuk golongan mere­ka, dan mereka akan mengembalikan tempat airku kepadaku." (Diriwayat­kan Ahmad dan Al-Bazzar).[3]

Dari Mu'awiyah secara marfu', "Suatu umat tidak akan disucikan selagi hak di dalamnya tidak dipenuhi dan orang yang lemah tidak dapat mengambil haknya dari yang kuat selain dari goyangan." (Diriwayatkan Ath-Thabrany).

Dari Abdullah bin Amr, secara marfu', "Apabila engkau melihat umatku takut berkata kepada orang zhalim, 'Hai orang zhalim!' maka mereka layak diberi ucapan selamat tinggal." (Diriwayatkan Ahmad).

--------------------------------------------------------------------------------

[1] Sebagaimana yang dikatakan AI-Mundziry di Daam At-Targhib wat-Tarhib, isnad hadits ini hasan.

[2] Hadis ini disebut dalam Sahih Jami’ Shaghir, no 3615.

[3] Rijalnya sahih sebagaimana disebut dalam At-Targhib wa Tarhib.

9. Syura, Nasihat, Perintah dan Larangan

Islam menetapkan Syura sebagai salah satu sendi kehidupan Islam, dan mewajibkan seorang pemimpin untuk meminta pendapat atau bermu­syawarah dengan orang lain. Islam juga mewajibkan umat untuk memberi nasihat. Bahkan Islam menjadikan nasihat sebagai gambaran dari seluruh agama. Nasihat itu bagi para pemimpin kaum Muslimin.

Islam juga menjadikan amar ma'ruf nahi munkar sebagai kewajiban yang sudah pasti, bahkan menganggap jihad yang paling utama adalah perkataan yang benar di hadapan tiran. Dengan kata lain, Islam menjadikan usaha meluruskan tirani dan kerusakan internal lebih baik di sisi Allah daripada menghadapi serangan dari luar. Sebab keadaan yang pertama seringkali menjadi pemicu datangnya serangan dari pihak luar.

10. Pemimpin dalam Perspektif Islam

Pemimpin dalam perspektif Islam merupakan wakil dari umat, atau lebih tepatnya pegawai umat. Di antara hak yang mendasar, wakil layak diperhitungkan atau perwakilan itu dicabut jika memang dikehendaki, terutama jika orang yang mewakili mengabaikan berbagai kewajiban yang harus dilakukannya.

Pemimpin dalam Islam bukan penguasa yang sifar dari kesalahan. Tapi dia adalah manusia biasa yang dapat salah dan benar, dapat adil dan pilih kasih. Menjadi hak kaum Muslimin untuk meluruskan pemimpin yang berbuat salah dan melempangkan penyimpangannya.

Inilah yang dinyatakan para pemimpin kaum Muslimin yang terbesar setelah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, yaitu Al-Khulafa'ur­rasyidun yang mengikuti petunjuk. Kita diperintahkan untuk mengikuti sunnah mereka dan menggigitnya kuat-kuat dengan gigi geraham. Kerana sunnah mereka merupakan kepanjangan dari Sunnah beliau.

Khalifah yang pertama, Abu Bakar berkata dalam pidato pertama­nya, "Wahai semua manusia, sesungguhnya aku telah diangkat menjadi pemimpin kalian, padahal aku bukanlah orang yang terbaik dari kalian. Jika kalian melihat aku berada di atas kebenaran, maka tolonglah aku, dan jika kalian melihat aku berada di atas kebatilan, maka luruskanlah aku. Taatlah kepadaku selagi aku takut kepada Allah di tengah kalian, dan jika aku durhaka kepada-Nya, maka tidak ada kewajiban bagi kalian untuk taat kepadaku."

Khalifah yang kedua, Umar bin Al-Khaththab berkata, "Semoga Allah merahmati seseorang yang menunjukkan kekurangan diriku kepada­ku. " Dia juga berkata, "Wahai sekalian manusia, barangsiapa di antara kalian melihat penyimpangan pada diriku, maka hendaklah dia meluruskan aku." Pernah seseorang yang muncul dari himpunan orang ramai dan menimpali perbutaan Umar, "Demi Allah wahai putra Al-Khaththab, jika kami melihat penyimpangan pada dirimu, nescaya kami akan melurus­kannya dengan ketajaman pedang kami."

Ada seorang wanita yang menyanggah pendapat Umar tatkala se­dang menyampaikannya di atas podium. Dia sama sekali tidak marah melihat perbuatan wanita tersebut, bahkan dia berkata,Wanita itu benar dan Umar yang salah.

Ali bin Abu Thalib berkata kepada seseorang yang menyanggah perkataannya tentang suatu urusan, "Engkau benar dan aku salah." Lalu dia membawa ayat Al-Qur'an,

"Dan, di atas tiap-tiap orang yang berpengetahuan itu ada lagi Yang Maha Mengetahui. " (Yusuf: 76)

11. Kelebihan Sistem Demokrasi

Sesungguhnya Islam lebih dulu memancangkan sendi-sendi bangun­an substansi demokrasi. Tapi rinciannya diserahkan kepada ijtihad orang­orang Muslim, sesuai dengan dasar-dasar agamanya, kemaslahatan dunia­nya, perkembangan hidupnya menurut pertimbangan tempat dan waktu serta trend kehidupan manusia.


Di antara kelebihan sistem demokrasi yang pernah diperjuangkan secara mati-matian dalam menghadapi para tiran, ialah menuntun ke bebe­rapa bentuk dan sarana, yang hingga kini dianggap sebagai satu-satunya sistem yang memberi jaminan keselamatan bagi rakyat dari jarahan tangan para tiran, sekalipuri sistem ini tidak lepas dari cacat dan kekurangan, seperti lazimnya perbuatan manusia yang tidak lepas dari kekurangan.

Tidak ada salahnya bagi manusia, pemikir dan para pemimpinnya untuk mencari alternatif sistem lain yang lebih ideal dan lebih baik, tapi harus lebih mudah diterapkan dalam kehidupan manusia. Kami berpenda­pat, tidak ada salahnya jika kita mengambil pelajaran dari sistem demokrasi, sebagai sarana untuk mewujudkan keadilan dan suara, menghormati hak-hak manusia, menghadang langkah para tiran di muka bumi.

Di antara kaedah penetapan hukum yang sudah berlaku ialah:

"Apa­bila yang wajib tidak dapat menjadi sempurna kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu pun hukumnya wajib."

Di samping itu, tujuan-tujuan syariat yang dituntut suatu sarana untuk memujudkannya, maka sarana ini ter­masuk dalam hukum tujuan itu. Tidak ada satu pun ketetapan syariat yang berisi larangan mengambil pemikiran teoritis maupun pemecahan praktikal dari non-Muslimin.

Sewaktu Perang Al-Ahzab, Nabi SAW mengambil pemi­kiran dengan cara menggali parit. Ini merupakan cara yang biasa dipergu­nakan dari bangsa Persi.

Beliau juga memanfaatkan para tawanan perang Badr dari orang­orang musyrik yang dapat baca tulis, untuk mengajari anak-anak Muslim, sekalipun mereka itu orang-orang musyrik. Inilah yang disebut hikmah. Dan, hikmah adalah barang orang Mukmin yang hilang lalu ditemukan lagi. Jadi dia lebih berhak terhadap barang itu.

Seperti yang sudah kami isyaratkan dalam berbagai buku dan tulisan kami, bahawa ada baiknya jika kita mengambil pemikiran, sistem, metode dan aturan yang bermanfaat bagi kita, selagi tidak bertentangan dengan nash yang jelas makna dan hukumnya dap kaedah hukum yang tetap. Kita dapat merembug hal-hal yang kita ambil itu, kita tambahi apa yang dapat ditambahkan dan kita singkirkan jenisnya yang asli.

Dari sini kita dapat mengambil tatacara demokrasi dan kandungan-­kandungannya yang sesuai dengan diri kita. Kita dapat menyaring dan membenahinya. Kita tidak perlu mengambil filsafatnya yang dapat meng­halalkan yang haram, mengharamkan yang halal atau yang menggugurkan kewajiban.

12. Pemilihan Umum Termasuk jenis Pemberian Kesaksian

Jika kita memperhatikan sistem pemilihan umum atau pemberian suara, maka kita akan melihat bahawa ternyata menurut Islam hal ini termasuk kesaksian kelayakan yang diberikan kepada calun. Maka setiap pemilih harus memenuhi syarat-syarat yang harus dipenuhi seorang saksi, seperti harus adil dan diridhai perilakunya. Firman Allah,

"Dan, persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kalian. " (Ath-Thalaq: 2).

"...dari saksi-saksi yang kalian ridhai. " (Al-Baqarah: 282).

Syarat-syarat adil dan sifat-sifat lainnya dapat kita ringankan, sesuai dengan kondisi. Kesaksian ini dapat diberikan umat dengan jumlah seba­nyak-banyaknya.

Siapa yang memberikan kesaksian kepada calun yang tidak layak untuk dipilih, berarti dia telah melakukan dosa besar, kerana sama dengan memberikan kesaksian palsu. Bahkan Allah menyebutkan perbuatan ini setelah syirik kepada Allah,

"Oleh kerana itu jauhilah oleh kalian berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan perkataan dusta. " (Al-Hajj: 30).

'Siapa yang memberikan kesaksian atau suara kepada calun dengan pertimbangan bahawa calun itu merupakan kerabatnya atau orang yang berasal dari satu daerah atau kerana untuk mendapatkan keuntungan pribadi, berarti dia menyalahi perintah Allah. Firman-Nya

"Dan, hendaklah kalian tegakkan keadilan itu kerana Allah. " (Ath­Thalaq: 2).

Barangsiapa yang tidak menggunakan hak pilihnya, sehingga calun yang mestinya layak dipilih menjadi kalah dan suara majoriti jatuh kepada calun yang sebenarnya tidak layak, berarti dia telah menyalahi perintah Allah untuk memberikan kesaksian pada saat dia dibutuhkan untuk memberikan kesaksiannya. Firman-Nya,

"Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil. " (Al-Baqarah: 282).

"Dan, janganlah kalian (para saksi) menyembunyikan persaksian­nya, dan barangsiapa menyembunyikannya, maka sesungguhnya dia adalah orang yang berdosa hatinya. " (Al-Baqarah: 283).

Dengan menambahkan petunjuk-petunjuk tentang pemilihan umum ini, maka jadilah ia sebagai tatanan Islam, sekalipun pada dasarnya sistem ini kita import dari luar.

13. Hukum Rakyat dan Hukum Allah

Yang ingin kami tegaskan sejak semula, bahawa substansi demokrasi adalah sejalan dengan substansi Islam, iaitu jika kita kembali kepada rujukan-rujukannya yang asli dan menimba dari sumber-sembernya yang jernih, dari Al-Qur'an dan Sunah serta perilaku Al-Khulafa'ur-rasyidun, bukan dari sejarah para pemimpin yang zhalim, raja-raja yang buruk, fatwa-fatwa para ulama yang dekat dengan para penguasa dan yang menye­satkan, atau fatwa-fatwa dari orang-orang yang sebenarnya mukhlis, tapi berpikiran dangkal dan suka bertindak secara terburu-buru.


Ada yang mengatakan, kerana demokrasi itu merupakan hukum bagi rakyat oleh rakyat, yang berarti harus menolak pendapat yang mengatakan bahawa kedaulatan pembuat hukum hanya milik Allah, ini merupakan pen­dapat yang tidak dapat diterima. Prinsip hukum milik rakyat, yang meru­pakan asas demokrasi, tidak bertentangan dengan prinsip hukum milik Allah yang merupakan asas penetapan hukum dalam Islam. Tapi ia ber­tentangan dengan prinsip hukum milik individu, yang merupakan asas diktatorisme.

Seruan untuk menerapkan sistem demokrasi bukan semestinya menolak kedaulatan Allah untuk menetapkan hukum bagi manusia. Orang-­orang yang menyeru kepada demokrasi sama sekali tidak pernah berfikir sampai di sini. Kerana yang mereka tuju hanya sekedar menolak dikta­torisme yang berkuasa, menolak kekuasaan para penguasa yang sewenang-­wenang, yang pada saat sekarang lazim disebut Kejam.

Benar. Yang mereka maksudkan dari demokrasi ialah pemberdayaan rakyat untuk memilih para penguasa seperti yang mereka kehendaki, memperhitungkan perilaku mereka, menolak perintah mereka jika berten­tangan dengan undang-undang negara, yang jika diistilahkan menurut Islam: Jika mereka memerintah kepada maksiat. Mereka berhak memecat para penguasa itu jika menyimpang, tidak mau menerima nasihat dan peringatan.

14. Maksud Prinsip Kedaulatan Penetapan Hukum bagi Allah

Di sini perlu kami pertegas sekali lagi, bahawa prinsip kedaulatan penetapan hukum milik Allah merupakan prinsip Islam yang pokok, yang ditetapkan semua ulama tatkala mereka membahas masalah hukum syariat. Mereka sepakat bahawa yang menetapkan hukum adalah Allah. Sedangkan Nabi SAW merupakan penyampainya. Allahlah yang berhak memerintah dan melarang, menghalalkan dan mengharam­kan, membuat dan menetapkan hukum.

Tentang pendapat golongan Khawarij, "Tidak ada hukum kecuali milik Allah", memang pendapat yang benar. Tetapi yang tidak benar ada­lah tindakan mereka yang meletakkan kalimat, ini tidak pada tempatnya dan penggunaan kalimat ini sebagai dalil untuk menolak pengangkatan manusia sebagai pengadil jika terjadi perselisihan. Tentu saja hal ini ber­tentangan dengan nash Al-Qur'an yang menetapkan diperbolehkannya mengangkat manusia sebagai pengadil di antara suami istri yang sedang cekcok dan perselisihan.

Oleh kerana itu Amirul-Mukminin, Ali bin Abu Thalib menolak pendapat mereka itu dengan berkata, "Kata-kata yang benar namun dimak­sudkan batil. " Perkataan mereka itu benar, tetapi sayang mereka memak­sudkannya secara batil. Bagaimana mungkin kata-kata itu tidak dikatakan benar, sementara ia diambilkan dari nash Al-Quranyang jelas,

"Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah." (Al-An'am: 57 dan Yusuf: 40).

Kedaulatan Allah untuk menetapkan hukum bagi makhluk sudah jelas dan diyakini, yang meliputi dua macam:

1. Kedaulatan penetapan hukum alam berdasarkan takdir. Dengan kata lain, Allahlah yang menciptakan alam, menangani segala urusan yang berjalan di dalamnya, menetapkan sunnah-sunnahnya yang. tidak dapat diubah-ubah, yang diketahui maupun yang tidak diketahui, seperti yang disebutkan dalam firman-Nya,

2. Kedaulatan menetapkan hukum yang diperintahkan, yaitu berupa pembebanan, perintah, larangan, keharusan dan pilihan, yang tecermin dengan diutusnya para rasul dan diturunkannya kitab-kitab. Dengan ke­daulatan ini Dia menetapkan hukum-hukum syariat, mewajibkan yang wajib, menghalalkan yang halal dan mengharamkan yang haram.

Hal ini tidak ditolak seorang Muslim yang ridha kepada Allah se­bagai Rabb, kepada Islam sebagai agama, kepada Muhammad sebagai Nabi dan Rasul.

Orang Muslim yang mengajak kepada sistem demokrasi, dengan pertimbangan kerana demokrasi itu merupakan bentuk penetapan hukum yang menyatu dengan prinsip-prinsip politik Islam dalam memilih seorang pemimpin dan menetapkan Syura, melaksanakan amar ma'ruf nahi munkar, melawan kesewenang-wenangan, menolak kedurhakaan, teru­tama jika kedurhakaan itu sudah menjurus kepada kufur yang jelas berdasarkan bukti keterangan dari Allah.

Di antara bukti yang menguatkan hal ini, dalam teks undang-undang ada yang berbunyi: "Agama daulah adalah Islam dan syariat Islam menjadi rujukan undang-undang." Ini menguatkan kedaulatan Allah dalam mene­tapkan hukum dan kedaulatan syariat-Nya.

Teks undang-undang itu dapat ditambahi lagi agar lebih jelas: "Setiap undang-undang atau hukum yang bertentangan dengan ketetapan syariat yang kongkrit, adalah batil." Jadi ini merupakan penguatan dan bukan penetapan dasar.

Jadi ajakan untuk menerapkan sistem demokrasi ini tidak mesti menganggap hukum rakyat sebagai pengganti dari hukum Allah, selagi tidak ada pertentangan di antara keduanya.

"Dan, apakah mereka tidak melihat bahawa sesungguhnya Kami mendatangi daerah-daerah (orang-orang kafir), lalu Kami kurangi daerah-daerah itu (sedikit demi sedikit) dari tepi-tepinya? Dan, Allah menetapkan hukum (menurut kehendak-Nya), tidak ada yang dapat menolak ketetapan-Nya, dan Dialah Yang Maha cepat hisab­Nya. " (Ar-Ra'd: 41).

Makna yang langsung dapat difahami di sini, bahawa hukum Allah itu adalah hukum alam yang berjalan menurut takdir, bukan hukum syariat yang diperintahkan.

15. Apakah Penetapan Hukum Berdasarkan Suara Majoriti Tidak Diakui Islam?

Di antara bukti yang diajukan golongan Muslimin yang berpendapat bahawa demokrasi merupakan prinsip yang diimpor dan tidak ada kaitannya dengan Islam, kerana demokrasi mengenal penetapan hukum berdasarkan suara majoriti (cara voting), dan cara ini termasuk sah dalam mengangkat pemimpin, menuntaskan masalah dan memilih salah satu dari beberapa pendapat yang berbeza-beza. Pemberian suara dalam demokrasi meru­pakan hukum dan rujukan. Pendapat apa pun yang dihasilkan dari suara majoriti secara tidak terbatas atau terbatas, kadang-kadang merupakan pendapat yang harus diterapkan, sekalipun terkadang itu merupakan pendapat yang salah atau pun batil.


Masih menurut pendapat mereka, Islam tidak menegaskan pendapat dengan cara seperti ini, Tetapi melihat bagaimana pendapat itu, apakah is benar ataukah salah. Jika benar dapat diterapkan sekalipun hanya menda­patkan satu suara atau bahkan tidak mendapat suara sama sekali. Jika salah harus disingkirkan, sekalipun mendapat sembilan puluh sembilan suara dari seratus jumlah totalnya. Bahkan beberapa nash Al-Qur'an menunjuk­kan bahawa golongan majoriti itu selalu berada di barisan yang batil dan di sisi thaghut, sebagaimana firman-Nya,

"Dan, jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di maka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. " (Al-An'am: 116).

"Dan, sebagian benar manusia tidak akan beriman, walaupun kamu sangat menginginkannya. " (Yusuf: 103).

Bahkan dalam Al-Qur'an seringkali disebutkan secara berulang-­ulang kalimat seperti berikut ini,

"Tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. "

"Tetapi kebanyakan manusia tidak berpikir. "

"Tetapi kebanyakan manusia tidak beriman. "

"Tetapi kebanyakan manusia tidak bersyukur. "

Di sisi lain Al-Qur'an menunjukkan bahawa para pelaku kebaikan merupakan golongan minoriti, sebagaimana firman-Nya,

"Dan sedikit sekali di antara hamba-hamba-Ku yang bersyukur. " (Saba': 13).

"Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang shalih, dan amat sedikitlah mereka ini. " (Shad:, 24).

Pendapat ini tidak dapat diterima, kerana terjadi pencampuran dan kerancuan. Seharusnya kita membicarakan demokrasi di masyarakat Muslim, kerana toh masih banyak di antara mereka yang mengetahui, berpikir, beriman dan bersyukur. Kita tidak perlu membicarakan apa yang terjadi di masyarakat kafir atau menyimpang dari. jalan Allah.

16. Hukum-hukum Yang Qathei Tidak Dapat Dicampuri Keputusan Melalui Pungutan Suara (Voting)

Di sana ada hal-hal yang tidak dapat dicampuri sistem voting dan tidak terbuka dengan cara pungutan suara, kerana hal-hal itu termasuk qathei dan tidak memerlukan perubahan, kecuali, jika masyarakatnya itu sendiri yang memang sudah berubah dan bukan lagi masyarakat Muslim.

Tidak ada tempat bagi sistem voting untuk memasuki ketetapan-­ketetapan syariat yang sudah Qathei dan dasar-dasar agama serta hal-hal yang sudah diketahui secara pasti. Sistem voting hanya berlaku dalam hal-hal yang bersifat ijtihad, yang biasanya dapat mengundang lebih dari satu pendapat, dan memang dapat dimaklumi jika manusia saling berbeza pendapat, seperti upaya memilih salah seorang dari beberapa calun un­tuk menduduki suatu jabatan, termasuk jabatan sebagai pemimpin daulah. Contoh lain mengenai pembuatan undang-undang untuk mengurus lalu lintas, membangun kemudahan-kemudahab perdagangan, perindustrian, rumah sakit dan lain-lainnya yang termasuk "Kemaslahatan tak terbatas" menurut istilah para fuqaha'. Contoh lainnya lagi seperti penetapan untuk mengumumkan perang atau tidak, penetapan pajak tertentu atau tidak, penetapan masa jabatan pemimpin, penetapan pemilihan umum dan lain-lainnya.

Jika ada perselisihan pendapat mengenai masalah-masalah ini, apakah akan digantung begitu saja? Apakah harus ada pengunggulan tanpa ada yang diunggulkan, ataukah memang harus ada yang diunggulkan?

18. Otokrasi Politik Merupakan Sumber Musibah Yang Menimpa Umat

Musibah yang pertama kali menimpa umat Islam dalam perjalanan sejarahnya adalah meremehkan fungsi Syura dan kerana sistem khilafah yang dijalankan Al-Khulafa'ur-rasyidun beralih ke sistem kerajaan, yang sebagian shahabat menyebutnya sama dengan sistem kekuasaan Kisra Persi atau Qaishar Romawi. Dengan kata lain, sistem otokrasi imperium dialih­kan kepada orang-orang Muslim, yang dianggap sebagai kekuasaan yang dihadiahkan Allah. Memang mereka hendak menimba pengalaman, tetap berkewajiban menjauhi kedurhakaan dan kehinaan yang dapat menghancur­kan daulah. Tetapi sayang, mereka mengimport sesuatu yang paling buruk dalam kehidupan berpolitik, yaitu otokrasi dan menyombongkan kekuasa­annya di muka bumi. Padahal seharusnya kekuasaan itu dipegang orang­orang yang tidak menghendaki kesombongan dan kerusakan di bumi.

Apa yang menimpa Islam, umat dan dakwahnya pada zaman seka­rang tiada lain kerana berasal dari sistem otokrasi yang mengebiri manusia dengan pedang kehormatan dan emasnya. Syariat disingkirkan, seku­larisme diterapkan dan manusia dicekoki westernisasi, yang semuanya dilakukan dengan menggunakan tangan besi dan tekanan. Dakwah dan harakah Islam digebuki, para da'i diancam, sedangkan yang menyimpang dibiarkan tetap menyimpang, dan semuanya harus tunduk kepada sistem otokrasi, dengan berlindung di balik demokrasi yang palsu, sesuai dengan scenario yang sudah dirancang berbagai kekuatan yang memusuhi Islam, atau sengaja menggiringnya dengan berkilah di balik undang-undang.

19. Kebebasan Berpolitik Merupakan Keperluan Asas pada Zaman Sekarang

Islam tidak akan bangkit, dakwahnya tidak akan menyebar, kebang­kitannya tidak akan tampak dan penyakitnya akan terus menggerogoti, kecuali jika ia diberi kebebasan yang tidak hanya terbatas, sehingga ada peluang baginya untuk berjalan berdampingan dengan fitrah manusia yang menyertainya, memperdengarkan adzan yang dirindukannya dan memberi kepuasaan kepada akal.

Peperangan pertama yang dihadapi dakwah harakah dan kebang­kitan Islam pada zaman sekarang adalah peperangan melawan kebebasan. Maka mereka yang masih memiliki ghirah terhadap Islam harus membentuk satu barisan untuk terjun ke sana dan sekaligus mempertahankannya. Tidak ada yang dibutuhkan selain kebebasan itu.


Perlu juga kami tegaskan di sini, sebenarnya kami termasuk orang yang kurang suka menggunakan istilah-istilah asing, seperti istilah demo­krasi atau yang serupa, untuk mengungkapkan beberapa pengertian Islam. Kami lebih suka menggunakan istilah-istilah Islam untuk mengungkapkan nilai dan pengertian-pengertian Islam. Sebab hanya cara inilah yang paling tepat untuk mengungkapkan jati diri dan kelebihan kita.

Tetapi jika suatu istilah sudah merebak dan semua orang meng­gunakannya, mau tidak mau kita tidak dapat menutup telinga menutup mata. Kita harus tahu apa yang dimaksudkannya, agar kita tidak memahaminya menurut pengertiannya yang hakiki, atau kita menginterpretasikannya tidak secara tepat atau tidak seperti yang dikehendaki orang-orang yang menyatakannya. Dengan cara ini kita dapat menghukuminya secara benar dan berimbang. Kita tidak perlu risau kerana kata-kata ini berasal dari selain kita. Yang menjadi pertimbangan hukum bukan terletak pada nama atau istilahnya, tetapi apa yang ada di balik nama itu.

Hampir semua da'i dan penulis Muslim menggunakan istilah demo­krasi ini, dan menurut mereka hal itu bukan merupakan halangan. Bahkan Ustadz Abbas Mahmud Al-Aqqad menulis sebuah buku dengan judul Ad-Dimuqrathiyah Al-Islamiyyah (Demokrasi Islam). Yang terhitung kele­wat batas dalam menanggapi Ustadz Khalid Muhammad Khalid, yang menganggap demokrasi adalah Islam itu sendiri. Tanggapan untuk semua ini sudah kami sajikan dalam buku Ash-Shahwah AI-Islamiyah wa Humu­mul-Wathaniyin Al-Arahy wal-Islamy. Siapa yang ingin mengetahui lebih lanjut mengenai masalah ini, dapat membaca buku tersebut.

Banyak orang Muslim yang berharap kepada demokrasi sebagai satu bentuk hukum, jaminan untuk kebebasan, perlindungan keamanan dan kesewenang-wenangan penguasa, sehingga demokrasi yang hakiki dapat mencerminkan kehendak umat, bukan kehendak penguasa secara peribadi dan golongannya. Mengangkat demokrasi tidak culcup hanya dengan menyebarluaskan ruhnya pada sekali waktu, membuka pintu penjara untuk orang-orang merdeka, menggunakan cemeti untuk dilecutkan di punggung orang-orang yang suci, dengan campur tangan militer untuk menjerat leher. Jika dikatakan kepada penguasa, "Mengapa demokrasi seperti itu tidak diterapkan?" Boleh jadi dia menjawab, "Tidak perlu."

Kami termasuk orang-orang yang berharap kepada demokrasi de­ngan sifat-sifatnya sebagai sarana yang mudah untuk mewujudkan tujuan dalam kehidupan yang tehormat, agar dalam suasana demokrasi ini kami dapat menyeru kepada Allah dan kepada Islam seperti yang kita imani, tanpa harus menyeret diri kita ke tiang gantungan. Di samping tujuan ini, agar rakyat mendapatkan kehidupan yang bebas dan tehormat, memperoleh hak untuk memilih para pemimpin, memperhitungkan dan memecatnya jika menyimpang, tanpa harus mengobarkan revolusi atau pertumpahan darah. Inilah demokrasi yang sangat diharapkan.

20. Syura Adalah Lembaga Yang Menetapkan dan Bukan Sekedar Pemberi Masukan

Hingga kini masih ada sebagian ulama,yang berpendapat bahawa Syura hanya sekedar memberi masukan dan bukan sebagai badan yang menetapkan. Pemimpin dapat meminta pertimbangan, tetapi tidak harus tunduk kepada pendapat Ahli Syura, yang notabenenya merupakan Ahlul­halli 'wal-aqdi (badan legislatif).

Pendapat ini sudah pernah kami sanggah di tulisan lain, dengan sedikit penjelasan, bahawa Syura tidak ada artinya sama sekali jika pemim­pin meminta pertimbangan dari Ahli Syura, namun kemudian dia berbuat berdasarkan pertimbangan yang terbaik menurut dirinya sendiri, seraya menyingkirkan pendapat Ahli Syura. Bagaimana mungkin mereka disebut Ahlul-halli wal-aqdi seperti yang dikenal dalam sejarah peninggalan kita, namun dalam kenyataannya mereka tidak dapat memecahkan dan menyim­pulkan?

Ibnu Katsir menyebutkan di dalam Tafsir-nya, dari Ibnu Marduwaih, dari Ali bin Abu Thalib Radhiyallahu Anhu, bahawa dia pernah ditanya tentang makna "Membulatkan tekad" dalam firman Allah (Ali Imran: 159), "Dan, bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Ke­mudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. " Maka dia menjawab, "Artinya meminta pertimbangan Ahli Syura lalu mengikutinya."

Jika dalam satu masalah ada dua pendapat, maka tetap saja ada pernyataan untuk mengikuti Syura, sekalipun umat kita hingga kini masih dikuasai otokrasi.

Sekalipun ada perbezaan pendapat, jika umat atau segolongan umat berpendapat untuk kembali kepada pendapat Syura, tentu perbezaan pendapat itu dapat disingkirkan, dan mengikuti suatu pendapat yang me­mang sudah disepakati bersama merupakan keharusan menurut syariat. Orang-orang Muslim berhak menetapkan syarat. Maka jika seorang pemimpin sudah terpilih dengan syarat-syarat tersebut, dia harus me­menuhinya dan meminta pendapat dari orang lain. Kerana seperti yang kami katakan, orang-orang Muslim i'u berhak menetapkan syarat. Semen­tara memenuhi janji merupakan suatu kewajiban.

"Dan, tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kalian berjanji dan janganlah kalian membatalkan sumpah-sumpah (kalian) itu, se­sudah meneguhkannya, sedang kalian telah menjadikan Allah seba­gai saksi kalian. " (An-Nahl: 91).

Pada saat Abdurrahman bin Auf ra mengajukan kepada Ali bin Thalib agar orang-orang berbaiat kepadanya untuk melak­sanakan Al-Kitab, Sunnah dan apa yang sudah dikerjakan Abu Bakar dan Umar yang menjadi khalifah sebelumnya, maka dia menolaknya. Ertinya Ali tidak mau mengikuti apa yang sudah dikerjakan Abu Bakar dan Umar. Sebab jika dia menerima tawaran itu, berarti dia harus melaksanakannya. Ali bin Abu Thalib menolaknya, kerana dia adalah seorang pemimpin yang berhak untuk berijtihad sendiri dan memiliki sisi pandang sendiri yang ten­tunya berbeza dengan sisi pandang keduanya, kerana kondisi dan wak­tunya sudah berbeza. Sementara sebelum dia, Utsman dibaiat seperti itu. Yang dapat disaksikan dari kejadian ini, bahawa siapa yang dibaiat umat dengan syarat tertentu, maka dia harus memenuhinya menurut ke­sanggupannya.

Dengan begitu Syura Islam serupa dengan ruh demokrasi. Atau dapat saja engkau berkata, "Substansi demokrasi serupa dengan ruh Syura Islam."

FIQH KENEGARAAN MENURUT ISLAM

Fiqh Kenegaraan Menurut Islam
Oleh Al-Faqir Ila Allah:
Zaharuddin Abd Rahman
zaharuddin@yahoo.com



MUQADDIMAH

Segala puji bg Allah, selawat dan slaam buat junjungan SAW serta para keluarganya dan sahabatnya yang terpillih dan seluruh mukminin dan mukminat yg menuruti jlnnya dgn haq.

Penulisan ini menyentuh beberapa aspek kenegaraan dalam sudut pandangn Islam, antara aspek yg disentuh :
1. Kewujudan Politik di dalam Islam.
2. Cabaran pemisahan islam dan politik.
3. Perbincangan tentang Dawlah Islam dan konsep asas pemerintahan Islam.
4. Hak wanita sbg pemimpin, politik dll.
5. Hak bukan Islam di dalam Pemerintahan Islam.
6. Demokrasi serta pendirian Islam terhdpnya.
7. Sikap Islam terhdp pilihanraya, demonstrasi dan Parlimen.
8. Berbilang jemaah dlm menuju ke arah pemerintahan Islam dan setelah wujud Dawlah Islam.

Demikian beberapa persoalan yg cuba disentuh secara ringkas.

Persoalan Fiqh Dawlah semakin mendapat perhatian ramai apabila kefahaman Islam berkembang dan menyerapi pemikiran umat manusia yang selama ini gersang ditutupi oleh kezaliman ideology amalan para pemerintah moden. Benarlah sabda Nabi Saw :

Mafhum : “ Pasti akan sampai urusan ini (Islam) ke mana sahaja sampainya malam dan siang, Allah tidak akan tinggalkan satu rumah si kaya mahupun miskin pun, kecuali akan dimasukkan oleh Allah Agama ini…” (riwayat Ahmad & Al-Baihaqi)

Sejak beberapa lama setelah kejatuhan khilafah Islam terakhir pada tahun 1924m, maka dengan bersendikan pemikiran mujaddid-mujaddid kurun ini, seperti Syeikh al-Imam Muhammad Abduh, Syeikh Rashid Ridha serta ramai lagi, lahirlah mujaddid haraki seperti Imam As-Shahid Hasan Al-Banna (1906-1949 M) pengasas jamaah Ikhwan Muslimin bagi mengharungi perancangan licik Yahudi serta sekutunya di seluruh dunia. Perjuangan demi menegakkan negara kebajikan Islam , kini menjadi tugas serta kewajiban semasa bagi seluruh umat Islam. Ulama’ contoh kini seperti Dr.Yusoff Al-Qaradhawi, Syeikh Muhd Al-Ghazali(1916-1996m), Syeikh Abul A’la al-Maududi(1903-1979m), Syeikh Muhd Qutb, Syeikh Muhd Syaltut, Dr. Solah Abd Fatah al-Khalidi, Tuan Guru Nik Abd Aziz Nik Mat, Tuan Guru hj Ab Hadi Awang serta ramai lagi boleh memandu kita ke arah peranan yang sebenarnya.

Imam Abu Hanifah (80-150H) merupakan individu utama dalam meletakkan keadah hukum Islam melalui gabungan pemikiran sihat iaitu Qias, kerana itulah keperluan utama di zamannya. Imam Malik Anas (93-178 H) pula merupakan individu utama yang menekankan persoalan ilmu jarh dan ta’dil sebagai keutuhan sumber perundangan Islam dan keshahihan hadith.

Imam Muhd Idris al-Syafie (150-204 H) dengan tugas semasanya iaitu berperanan sebagai individu utama menyusun kaedah Usul Fiqh dalam gaya gabungan ahli Hadis dan Ahli ra’yi. Mankala Imam Ahmad Hanbal (164-241 H) pula merupakan individu pertama dalam menggabung dan mengumpulkan hadith2 Rasulullah saw agar umat Islam tidak tercari-cari rujukan dr rasulnya, itulah Musnad Ahmad yang mengandungi lebih 40,000 hadith Rasulullah Saw. Rasul menegaskan daripada Abu Hurairah ra.

Mafhum : “Sesungguhnya Allah membangkitkan kepada umat ini, di setiap permulaan seratus tahun, seseorang yang melakukan tajdid bagi Agama” ( riwayat Abu Daud: no 4291)

Justeru, adalah menjadi tuntutan kepada setiap individu Islam bagi memikirkan apakah keperluan Islam pada zamannya sesuai dengan hadith tersebut. Tidak dapat diingkari bahawa, semasa kewujudan Khilafah Islam sehingga tahun 1924 M sememangnya tidak timbul gerakan Islam berjuang untuk menubuhkan negara kebajikan Islam tetapi setelah kejatuhannya maka ini lah yang menjadi tuntutan Deen hari ini.

Bagi melicinkan tugas ini, menjadi kewajiban bagi umat untuk memahami selok belok politik dan dawlah Islam bagi kembali memperkenalkannya kepada manusia hari ini. Selaras sebuah athar :

Mafhum : Orang yang tidak mempunyai kelebihan tidak akan dapat mengenali orang yang memiliki kelebihan”

Dan begitu juga, “tak kenal maka tak cinta”

Bagaimana mungkin manusia yakin serta cinta kepada Islam sekiranya mereka tidak kenal dan sedar apakah sistem kenegaraan Islam dan siasah Islam.

TAKRIF SIYASAH ATAU POLITIK

Siasah menurut bahasa :
“Sasa- yasusu- siyasatan wa riasah” yang membawa maksud tadbir, perintah, mengetuai ( Lisan al-Arab, Dar al-kutub al-ilmiah)

Manakala menurut istilah para ulama’ terdahulu terbahagi kepada 2 :

1. Makna ‘Am : Mentadbir urusan manusia dan urusan dunia mereka dengan syariat Deen. Dengan ini kita dapati mereka mentakrifkan ‘Khilafah’ sebagai :

Mafhum : “Sebagai pengganti tugas Rasul dalam menjaga Agama dan mentadbir Dunia dengan berpaksikan agama”


  1. Makna Khas : Tindakan2 yang dibuat oleh Imam bersumberkan hukum2 dan ketetapan2 samada bertujuan untuk menghalang kerosakan atau mencegah kerosakan yang belum melanda atau pemulihan terhadapnya. (Lihat as-Siyasah as-Syariyyah – Dr. Yusoof al-Qaradhawi, Muassasah al-Risalah, hlm 31)

    Sebagai contoh, kepelbagian tindakan yang dilakukan oleh Khalifah Abu Bakar ra yang membakar peliwat, Umar ra yang mencukur rambut Nasar bin hajjaj akibat digilai oleh perempuan Madinah semasa pemerintahan mereka. Semua tindakan ini berubah menurut kepentingan maslahat setempat dan zaman.

    Menurut As-Syahid Imam Hasan Al-Banna : ‘Sasah adalah kajian tentang persoalan umat Islam samada dalam dan luar negeri, ia tidak terikat dengan ikatan kepartian semata-mata” (Mabadi’ al-usul fi mu’tamarat al-khassah, muaassah al-islamiyyah, 1980, hlm 104)

    Perkataan asal siyasah digunakan oleh Rasulullah SAW dalam hadithnya :

    Mafhum : “Dahulunya Bani Israel dipimpin oleh para Nabi, tatkala wafat seorang Nabi maka dibelakangnya terdapat Nabi (lagi) dan sesungguhnya tiada seorang pun lagi Nabi selepas Aku( Rasulullah ), dana diikuti oleh para pemimpin…”

    Imam Ibnu Qayyim pula menolak pembahagian kaedah hukum kepada syariat dan siyasah, sebagaimana ada sesetengah kumpulan yang membahagikan Islam kepada Islam syariat, Islam hakikat. Adapun pembahagian yang tepat menurutnya adalah samada shahih atau batil ( Lihat Turuq hukmiyah, hlm 13-19 )

    DALIL KEWUJUDAN POLITIK DI DALAM ISLAM

    Sejak berkembangannya fahaman Sekularisme di kebanyakan pelusuk dunia, ramai menjadi terkeliru dengan istilah2 seperti ‘politik kotor’, tiada politik dalam Islam, Islam tiada kaitan dengan politik dan pelbagai lagi.

    Justeru percubaan memisahkan politik dari prinsip Islam ini sentiasa diperjuangkan oleh musuh-musuh Islam dan anak buahnya dari kalangan umat Islam sendiri. As-Shahid Sayyid Qutb berkata ; Islam yang dikehendaki oleh Amerika dan kepimpinannya di timur tengah, bukanlah Islam yg menentang penjajahan, kezaliman, komunisme tetapi sebenarnya mereka tidak mahu islam memerintah, mereka mahu Islam yang membicarakan perkara yang membatalkan wudhu’ sahaja, dan bukan persoalan ekonomi islam, politik islam, masyarakat islam dan kewangan islam.

    Bagi mengembalikan kefahaman umat, menjadi kewajiban bagi merujuk kepada rujukan utama Islam dalam hal kesempurnaan Islam dalam kepelbagaian bidang kehidupan:

    Al-Quran

    Mafhum : Sesungguhnya orang yang kami berikan kpd mereka kekuasaan di atas muka bumi, mereka mendirikan solat, menunaikan zakat, menyuruh kepada kebaikan, melarang kemungkaran, dan kepada Allah mereka menyerahkan penghujung sgl usaha”
    ?????? ???? ?????? ?????? ??? ??? ???? ????? ????? ???????? (?????:89)
    Mafhum : Dan telah Kami turunkan kepada kamu, Kitab (al-Quran) yang didalamnya mengandungi penerangan terhdp semua perkara serta menjadi petunjuk dan rahmat dan membawa berita gembira bg muslimin"


    Al-Hadith

    1. Mafhum : “Apabila keluar tiga orang semasa bermusafir maka telah mesti ke atasnya melantik seorg drnya sbg ketua” ( Riwayat Abu Daud dan At-Tabrani, dgn sanad yg shohih)

    2. Mafhum : “Sebaik-baik jihad adlh perkataan yang haq dihadapan pemerintah yang zalim”

    3. Mafhum : “ Penghulu para syuhada; adalah Hamzah ra, kemudian lelaki yang bangun kpd pemerintah yang zalim lalu mengajaknya kpd kebenaran dan melarangnya dr kemungkaran lalu ia dibunuh krn itu” ( Al-Hakim mentashihkan hadith ini)

    4. Mafhum : “Brgsp yang mati, dlm keadaan tiada padanya suatu bai’ah( iqrar janji taat kpd pemimpin Islam) maka matinya seumpama dlm keadaan Jahiliyyah” (Riwayat Muslim)


    Athar Sahabat

    Berkata Saidina Umar al-Khattab : ?? ????? ??? ?????? ??? ????? ??? ??????, ??? ????? ??? ???????
    Mafhum : Tiada Islam kecuali dgn Jemaah, tiada Jemaah kecuali dgn Kepimpinan, Tiada Kepimpinan kecuali dgn Ketaatan. (Lihat Mawsu’ah an-Nuzum wa al-Hadharah al-Islamiyah, Ahmad Syalabi, 2/29)

    Berdasarkan beberapa ayat , hadith serta athar tadi jelas bahawa aspek siyasah (politik pemerintahan) semestinya terkandung di dalam Islam bahkan Nabi SAW juga merupakan seorang pemimpin politik apabila baginda menjadi ketua negara di madinah. Saya merasakan tidak perlu memanjangkan bahagian ini kerana meyakini kejelasannya di pemikiran para pembaca.

    ILMU SIYASAH ISLAM DALAM SEJARAH PEMBUKUAN

    Perkembangan ilmu politik Islam tidak terlepas daripada pandangan para pimpinan Islam sejak kewafatan Rasulullah SAW. Antaranya tandanya bolehlah kita melihat kepada buku-buku yang dikarang berkaitan tajuk ini, antaranya fiqh Umar al-khattab ra yang begitu banyak membuat pembaharuan dan ijtihad dalam perkara2 umat Islam ( Mausu’ah Fiqh Umar Al-Khattab oleh Dr. Muhd Rawwas Qal’ah Ji ) buku terawal mengenai siyasah ditulis Qadhi Abu Yusof Ya’qub B Ibrahim al-hanafi ( m 183 H) bertajuk Al-kharraj, Yahya Adam al-Quraisy (m 204 H) bertajuk Al-Kharraj, Abu Ubaid al-Qasim ( 224 H) bertajuk Kanzul al-amwal, seterusnya Imam Ibn Qutaibah ( 267 H) bertajuk ‘Al-Imamah wa al-Siyasah’ ‘,setersunya al-Madinah al-Fadhilah, oleh Abu Ali Bin Sina ( 428 H).


Manakala penulisan oleh Imam al-Mawardi as-Syafie ( m 450 H) bertajuk adab al-wazir’ dan juga al-ahkam as-sultaniyah, Abu Ya’la al-Farra al-hanbali ( 458 H) bertajuk al-ahkam as-sultaniyah, Imam haramian al-syafie ( 476 H) bertajuk Ghiasu al-umam, penulisan oleh Shihabuddin al-Qarafi bertajuk ‘ahkam al-ahkam fi tamyiz al-Fatwa’ , seterusnya Imam Ibnu Taimiyah al-hanbali ( 728 H) bertajuk al-siyasah al-syariyyah fi islah al-ra’ wa al-raiyyah, Imam Ibnu Qayyim al-hanbali ( 749 H) Turuq al-hukmiah dan Al-Ahkam Ahli Dzimmah, Imam Ibnu Rejab al-hanbali ( 795 H) bertajuk al-istikhraj fi ahkam al-kharraj dan banyak lagi, sehinggalah ke hari ini. Ini membuktikan bahawa ilmu siyasah Islam bertali arus dari sudut perhatian para ulama’ terdahulu sehinggalah sekarang.

CABARAN SEKULARISME DALAM FAHAMAN POLITIK DI MALAYSIA

Akibat pegangan fahaman pemisahan Deen daripada urusan kehidupan serta menyerahkan urusan deen kepada individu, dan tidak menjadi tanggung jawab pemerintah maka sehingga kini bentuk2 sekular telah berkembang biak memasuki bidang pendidikan, kemasyarakatan, politik, ekonomi dan hampir menyelinap di semua aspek kehidupan masyarakat Malaysia. Keadaan ini menyebabkan ilmu Islam dipandang remeh, sampingan, tiada harga, second class dan sebagainya. Harta dan pangkat keduniaan dilihat dengan penuh liuran dan rakus, sekiranya keadaan ini berterusan, pasti akan lahir masyarakat perosak, keamanan lenyap sedikit demi sedikit, Islam hanya di masjid, itu pun hanyalah persoalan tertentu daripada juzu’ kecil ilmu Islam.

Alangkah malangnya, sekiranya para terpelajar dari generasi muda terutamanya yang mempelajari Islam juga terhanyut jauh dalam suasana tersebut tanpa memahami tuntutan semasa Islam. Kerana itulah, memahami Politik Islam menjadi ‘compulsary subject’ bagi kita samada suka atau tidak, tiadalah kuat Islam tanpa politik dan politik akan hancur tanpa aqedah.

Berkata Imam Ibnu Taimiyah : Mafhum : “ Wajib diketahui bhw kekuasan ke atas manusia adalah sebesar2 tuntutan agama, bahkan tiada pemerintahan kecuali dgnnya”

Aqidah sebagai asas kekuatan manusia, tanpanya generasi manusia pasti menyesal di akhirat nanti. Firman Allah SWT

Mafhum : sesiapa yang mengikuti selain Islam sbg cara hidupnya maka tidak akan sekali2 diterima oleh Allah dan ia di akhirat akan menjadi org2 yang rugi” ( Al-Imran : 85)
Bagi tujuan tersebut pembaca harus memahami bahawa Islam akan sentiasa diperintah selagi mana Islam tidak mengambil tampuk pemerintahan, tujuan menerajui pemerintahan tidak akan terlaksana tanpa politik.

Qaedah Fiqhiyyah menyebut :

Mafhum : “apa yang berada disekeliling yang haram maka hukumnya juga adalah haram”

Menurut Imam Suyuti As-Syafie( Ashbah wa an-nazair, hlm 162 ) dan Imam Zarkasyi al-Syafie (al-Bahrul Muhit) berkata ‘al-harim’ termasuk dalam perkara wajib lalu timbullah kaedah :

Mafhum : Kewajiban yang tidak dapat disempurankan, kecuali dgn adanya ‘ia’, maka ‘ia’ juga menjadi wajib (sbgmn perkara wajib itu)”

Ia juga diistinbadkan dari ayat : Mafhum : “ Janganlah kamu menghampiri zina, krn sesungguhnya ia adalah pekerjaan yg teramat buruk dan seburuk2 jalan”

Justeru jalan kepada tertegaknya sebuah negara adil Islam juga menjadi wajib sebagaimana wajibnya menegakkan negara tersebut. Kita tidak boleh meredhai situasi Islam diperintah, ketidak keredhaan itu merupakan suatu keimanan dan keyakinan maka hal iman sebagaimana dinyatakan di dalam sebuah Hadith : Mafhum : Tidaklah iman itu dgn angan2 dan perhiasan2, tetapi ia adalah apa yang teriqrar di dalam hati dan dibenarkan oleh amalan” ( dari Anas Bin Malik, dikeluarkan oleh ad-Dailami dan Ibn Najar)

Sesungguhnya keredhaan kepada sesuatu beerti keredhaan kepada hasil yang timbul darinya, sebagaimana kaedah fiqhiyyah :

Mafhum : Redha dgn sesuatu bermaksud, redha jua dengan apa yang bakal terbit darinya”

Maka redha dengan kekufuran maka hukumnya kufur jua.

DAWLAH ISLAM

Takrif
Al-Sarakhasi : mentakrifkan ia sebagai : “Ianya tempat yang berada di bawah pemerintahan orang Islam, tandanya ialah apabila orang Islam aman di bawahnya”

Al-Khatib al-Baghdadi (429 H) : Negera yang masyarakatnya dapat menyeru dakwah Islam tanpa ada rasa takut dan bimbang, dilaksankan hukum-hakam Islam, manakala ahli Bid’ah tidak bermaharajalela menekan ahli Sunnah” ( Usul al-Din, hlm 270 )

Al-Imam As-Sya’ari (324 H) : “Negara Islam ialah negara yang berada di abawah penguasaan Islam dan dilaksanakan setiap hukum2 dan Syiar Islam” (Maqalat al-Islamiyyin wa ikhtilaf al-Musollin, hlm 22)

Syeikh Sa’id Hawwa (1989 M) : “Negara yang meletakkan undang2 Islam yang tunggal untuk mentadbir negara, ia dipimpin oleh orang Islam yang komited dengan ajaran agamanya..”( Jundullah thaqafatan wa akhlaqan, hlm 35)

Syeikh Abul A’la al-Maududi (1979 M) : "Negara yang dibentuk berasaskan AL-Quran dan Sunnah Rasullullah SAW, kedua-dua sumber ini berfungsi sebagai pembimbing negara yang memberi keadilan kepada rakyat” ( Nazariyat al-Islamiyyah, hlm 41)

Prof. Dr Muhd Salam Madkur : Para Fuqaha mentakrifkan dar Islam sebg sebuah negara yang dipandu oleh hukum Islam, hukum-hakam Islam juga diamalkan di dlmnya. Sekiranya tidak, maka ia tidak boleh digelar dar Islam yang sempurna” (Ma’alim Dawlah Islamiyyah, hlm 60)


Para Fuqaha’ telah membahagiakan Negara Islam ini kepada beberapa jenis :
a. Darul ‘adl wa madani : Negara yang diperintah berlandaskan syariat Islam dengan adilnya
serta membangunankan negara melalui tatcara yg sihat dan nilai murni.
b. Darul bagh : Negara yang diperintah oleh umat Islam yang menderhaka kepada kerajaan Islam yang adil.
c. Darul Bid’ah : Negara yang diperintah oleh orang Islam yang bercanggah dengan ajaran
sebenar Islam
d. Darul Maslubah : Negara umat Islam yang dijajah oleh orang bukan Islam.

Apapun takrifan bagi negara Islam, hakikatnya tiada ertinya sebuah negara Islam tanpa pelaksanaan syariat Islam didalamnya kerana ia tidak akan mampu mengembalikan Islam ke mercunya yang sebenar.

DAWLAH ISLAMIAH MADANIAH

Ciri –ciri utama
Al-Imam Al-Mawardi As-Syafie (450 H) di dalam Al-Ahkam as-Sultaniyah hlm 27. Beliau menggariskan tugas-tugas di dalam sebuah kerajaan Islam tulen antaranya :
1. Menjaga Deen di atas usul2nya yang tetap dan yang diijmakkan ulama’ salaf soleh, serta menjalankan kewajiban hak2, hudud agar agama terjaga daripada kehancuran.
2. Melaksanakan hukum di antara dua kumpulan berpecah dan menamatkan permusuhan sengketa
3. Menjalankan hukum hudud bagi menjaga laranagan Allah daripada dicerobohi serta menjaga hak manusia.
4. Jihad menentang pengingkar Islam setelah dakwah.

Pemfokusan penulisan ini meringkaskan kepada beberapa aspek sahaja dari keutamaan sebuah dawlah Islam

1. Perlembagaan
Hanya al-Quran dan al-Sunah menjadi rujukan utama selain Ijma’ dan qias.
Sesungguhnya penurunan syariat Islam adalah demi menjaga kepentingan manusia dan kebajikan mereka (lihat ‘A’lam al-Muwaqqi’in oleh Imam Ibnu Qayyim-) Justeru, semua pihak samada muslim atau non-muslim tidak perlu takut terhadp pelaksanaan ini, tiada sebarang kezaliman akan berlaku terhadap semua pihak.

2. Pemerintah
Pemerintah bagi sesebuah negara Islam akan dilantik dari kalangan mereka umat Islam yang berilmu, komited dalam ajaran Islam, mempunyai kekuatan fizikal dan mental dll. Imam Al-Mawardi menggariskan sebanyak 7 sifat, Imam al-Ghazali menyebut 10 sifat, Ibnu Khaldun dan Al-Baghdadi menetapkan 4 sifat. Secara umumnya semuanya menyebut perkara :
a. Berugama Islam
b. Mujtahid atau berilmu dalam hukum syarak dan memahami masalah semasa.]
c. Adil ( menurut Imam Bukhari iaitu wara’ dan taat serta iltizam dengan perintah Allah)
d. Berkemampuan mental dan fizikal
e. Lelaki ( Bagi kepimpinan tertinggi atau wilayah ‘ammah dengan ikhtilaf di kalangan ulama’)
f. Berpengaruh (mendapat sokongan rakyat)


3. Kaedah Pemerintahan

a. Secara Syura ( input dua hala antara pemerintah-pemerintah dan pemerintah-rakyat )

Dawlah Islam bukan sebuah negara teokrasi yang menindas rakyat atas nama ketuhanan. Bahkan dawlah Islam sentiasa membuka ruang daripada rakyat samada dari kalangan Islam mahupun bukan Islam untuk mengkritik kepimpinan apabila melakukan kezaliman serta terpesong dari landasan keadilan hakiki.
Konsep ini ditunjukkan oleh Rasul SAW ketika :

i. Membuka ruang pandangan para sahabat ketika ingin memutuskan tindakan perang atau tidak semasa kisah peperangan badar sebagaimana sabda baginda : ?????? ??? ???? ????? ( Mafhum : berikan pandangan kamu wahai para sahabatku) sebanyak beberapa kali bagi memastikan wakil sahabat2
besar, wakil kaum muhajirin serta ansar memerikan pandangan sebelum meneruskan rancangan merampas kembali hak umat Islam dari rombongan Abu Sufyan.
ii. Menerima pandangan Salman Al-Farisi dalam tektik perang dengan menggali parit ketika perang Khandaq ( ahzab)
iii. Menerima pandangan Habbab Ibn Munzir ketika perang Badar dalam menentukan kawasan terbaik untuk berkubu.
iv. Menerima pandangan sahabat untuk keluar dari Madinah ketika perang Uhud walaupun Rasul lebih berat untuk berkubu di Madinah.

Syeikh Mahmud Syaltut ( bekas syeikhul azhar ) menegaskan bahawa persitiwa2 telah meletakkan satu bentuk asas yang amat penting dalam sesebuah negara adil Islam. Iaitu prinsip mendengar pandangan rakyat sebelum bertindak . ( Min Taujihat al-Islam , hlm 522) Malah Hadith dari Abu Hurairah menyatakan :

Mafhum : “Tiadalah aku melihat manusia yang lebih byk bermesyuarat dgn sahabatnya daripada Rasulullah saw”

Hasilnya, menurut Imam al-Qurtubi, umat Islam ijmak ( bersepakat ) dalam perkara kewajiban syura, sebagaimana diriwayatkan dari Ibnu Atiyyah : “Syura adalah dari asas syariat dan ketepatan hukum barangsiapa tidak bermesyuarat dengan ahli ilmu maka berpisah dengannya wajib” ( Tafsir al-Qurtubi, hlm 249, Jld 4)

b. Mendokong Keadilan

Firman Allah :

Mafhum : Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menunaikan amanah terhdp manusia, dan apabila kamu berhukum maka hendaklah kamu menghukum dgn seadil2nya..” ( An-Nisa’ : 58)


Manusia adalah sama baik dari apa bangsa, warna kulit, bahasa dsbg, perbezaan hanya terletak pada ketaqwaan kepada Allah SWT, itulah neraca perbezaan mereka di sisi Allah.

Keadilan yang disebut tadi telah diterjemahkan praktikal oleh Rasulullah SAW serta para sahabat baginda tanpa dipengaruhi oleh harta, pangkat atau apa jua perhiasan dunia:

1. Rasullullah memberi peluang kepada sahabat bernama Suad untuk membalas apabila Rasulullah SAW menolak perutnya dengan busar panah hingga menyakitinya apabila ingin meluruskan saf pembarisan tentera.
2. Ibnu Qayyim mencatatkan di dalam kitabnya ‘Turuq Hukmiah’. Khalifah Umar al-Khattab semasa menjadi amir al-mukminin bertanya kepada rakyat apakah pandangan mereka sekiranya seorang amir sepertinya melihat maksiat dilakukan oleh seorang perempuan. Berkata Ali KW bahawa beliau wajib menghadirkan 4 orang saksi atau akan disebat dengan had qazf , Ali KW akhirnya berkata:

Mafhumnya : “Urusannya ( khalifah dlm hal kehakiman) adalah sama seperti seluruh muslimin yang lain ( tanpa imuniti atau kelebihan).”

Iaitu tanpa perbezaan walaupun Umar ketika itu bertaraf Perdana Menteri bagi seluruh umat Islam.

3. Khalifah Ali KW pernah dibawa ke mahkamah akibat pertikaiannya dengan seorang Yahudi berkenaan baju besi miliknya yang didakwa dicuri oleh si Yahudi, apabila mahkamah menjalankan perbicaraan Ali KW gagal mengemukakan bukti jelas akhirnya, Yahudi berhak ke atas baju tersebut wp sememang ia milik Ali KW. Keadilan kehakiman Islam yang tegas tanpa membezakan samada ketua negara Islam yang dibicarakan, bahkan walaupun tertuduh merupakan seorang Yahudi, dakwaan tetap memerlukan bukti jelas. ( al-Ahkam as-Sultaniyyah, Abu Ya’la Al-Farra’

: hlm 66 ) Dalam Islam seorang Qadhi boleh untuk menolak hujjah Khalifah sekiranya hujjahnya tidak memuaskan sebagaimana yang berlaku kepada Ali KW, juga Umar ra.

Pemerintahan Islam juga berdiri tegas terhadap tuduhan2 jenayah atau seumpamanya sbgmn hadith Nabi SAW :

Mafhum : Bukti yang jelas bagi mereka yang mendakwa, serta sumpah ( hak pembelaan) bagi mereka yang ingin menafikannya”

Demikianlah Islam mengganggap bahawa seseorang itu tidak bersalah sehingga dibukitikan bersalah : Kaedah Fiqhiyyah (Imam As-Suyuti, Asbah wa an-Nazair : hlm 74):

Mafhum : Asal ( dlm tuduhan jenayah) adalah tiada bersalah (kecuali setelah dibuktikan)”

Jelas sekali bahawa Islam serta system kehakimannya yang begitu adil dengan menjaga hak individu, serta tidak terkecuali dari dari sebarang hukuman hatta seorang ketua negara.

Ketua Negara Islam juga dituntut oleh Allah SWT untuk melaksankan keadilan di kalangan rakyatnya sebagaimana friman Allah :

Mafhum : “ Wahai Daud, sesungghunya kami telah menjadikan kamu sbg pemerintah di atas muka bumi, maka wajiblah kamu menghukumi mereka dgn kebenaran dan jangnlah kamu mengikuti hawa nafsu, ( kalau kamu mengikuti nafsu) nescaya nanti ia menyesatkan kamu dr jalan Allah, ….”

Dengan ini juga, negara kebajikan Islam bukan sebuah negara teokrasi tetapi adalah negara madani yang sentiasa membangun rohani dan fizikal negara. Ia bukan negara yang hanya hanyut dalam mengejar tamadun maddiyah bahkan sebuah negara yang sedar bahawa kebangunan material mesti dibina atas keutuhan, kejujuran hati penduduk kepada penciptanya. Dengan itu negara pasti mencapai kebahagian hakiki.

c. Persamaan Hak

Firman Allah SWT :

Mafhum : “Brgsp yang membuat amalan soleh dr kalangan lelaki atau wanita dlm keadaan mrk beriman, nescaya pastilah kami menghidupkan mrk kelak (di akhirat) dgn hidup yang baik, dan kami kurniakan balasan sebagaimana sebaiknya amalan yg telah mrk lakukan”

Topik persamaan berkisar tentang beberapa kumpulan manusia antaranya:

i. Hak wanita

Dari sudut Islam, lelaki & wanita adalah sama dari sudut kehormatan diri, hak pemilikan harta benda, moral, beragama. Persoalan yang sering berbangkit berkenaan wanita adalah:
- adakah mereka berhak menjadi pimpinan negara?
Sabda Nabi SAW :

Mafhum :” Tiada akan berjaya ( selama2nya) suatu kaum yang dipimpin urusan negara mrk oleh wanita”

Mengimbas sebab ‘wurud’ hadith ( sebab terkeluarnya hadith ini dr mulut Rasul) ini adalah apabila Rasul diberitahu bahawa kerajaan Rom diterajui oleh wanita lalu sebagai respond maka Rasulullah SAW menyebut seperti hadith di atas. Jelas, mafhum hadith adalah ditujukan kepada persoalan kepimpinan negara bg wanita, tidak seperti ayat :

Mafhum : “Para lelaki adalah lebih lurus (kuat) berbanding para wanita, dgn sebab kurniaan Allah ke atas setengah merka dan dgn sebab apa yang dibelanjakan oleh mrk (lelaki) daripd harta mrk “

yang menyentuh persoalan rumah tangga dan agak kurang tepat digunakan di dalam persoalan kenegaraan..


Bagi menjelaskan topik ini, perlu disedari bahawa kepimpinan sebuah negara Islam dibahagi kepada:-
1) Wazarah at-tafwid yang membawa maksud kepimpinan yg menentukan dasar atau mrk yang dilantik oleh Imam untuk melaksanakan tugas pentadbiran dgn kebijaksanaannya dan ijtihadnya ( Lihat al-ahkam as-Sultaniyah-Mawardi hlm 33) . Kepimpinan Tafwid memegang bhg :
1. Wilayah al-Mazalim (tugasnya mengambil tindakan ke atas pemerintah, pegawai tinggi kerajaan yg tidak boleh diambil tindakan oleh mahkamah biasa)
2. Wilayah al-Jihad (Berperanan dlm bidang ketenteraan)
3. Wilayah al-hasabah (menjaga kewajiban amar makruf nahi mungkar samada berkaitan pemerintah atau rakyat)
4. Berhak menjalankan tugas perlaksaan.
5. Berhak mewakili kepimpinan utama.
6. Berhak mendapat kebajikan sbgmn yang diperolehi oleh ketua negara.

Tetapi mrk tidak mempunyai hak dlm bidang :
1. Wilayah al-‘ahd iaitu kuasa ‘melantik’ tidak mempunyai kuasa melantik seseorang lain bg melaksanakan urusan khalifah.
2. Kuasa mengampun
3. Hak menyingkir individu yang dilantik khalifah.

Contoh semasa di Malaysia bagi kepimpinan ini adalah Perdana Menteri, Presiden, Ketua Hakim atau Hakim, Menteri-menteri yang memegang dasar dan menjalankan tugas yang diberikan oleh Perdana Menteri menurut ijtihad dan pemikirannya termasuk juga Menteri Besar (menurut ijthad adalah dlm perkara ijtihadiyah atau tidak mempunyai dalil yg qat’ie) . Menurut Al-Mawardi juga wzarah ini terbahagi kepada dua:
a. Wazarah Tafwid ‘Ammah
b. Wazarah Tafwid Iqlimiah ( yang bertanggung jawab dlm pentadbiran sesebuah iqlim) iaitu seperti menteri besar di sesebuah negeri)

2) Wazarah at-tanfiz (??????? ) iaitu kepimpinan yang melaksanakan dasar yang telah ditentukan, mereka cuma mempunyai kuasa dalam mempelbagaikan kaedah perlaksanaan kepada dasar tadi tapi tidak dlm mengubah polisi. Mrk menjadi orang tengah di antara rakyat dan pemerintah . Contoh semasa seperti Ketua Setiausaha Kementerian, Setiausaha Parlimen, Pegawai Daerah, Ketua Jabatan2 Kerajaan.

Imam Al-Mawardi ra (450 H) menjelaskan jwtn spt Perdana Menteri atau juga menteri bhg ketenteraan adalah tidak dibolehkan bg wanita serta tidak sesuai dengan kemampuan sifat mereka terutama apabila melibatkan ketenteraan. Beliau juga menyenaraikan sifat ‘lelaki’ sbg salah satu daripada 10 syarat kepada kepimpinan di peringkat ‘tafwid’ tetapi tidak di peringkat ‘tanfiz’. ( Al-ahkam as-sultaniyyah, hlm 22)

Menurut Imam Hasan Al-Banna , wanita tidak dibenarkan menjawat apa-apa jawatan di wilayah ‘ammah atau wazarah tafwid spt kepimpinan ketenteraan (wilayah jihad), wilayah hisbah, wilayah kehakiman, wilayah haji, wilayah kharaj dan lain-lain bentuk umum. Selain dalil2 biasa dr Al-quran dan al-Hadtih, beliau juga berdalilkan jma’ amali sejak zaman Rasul SAW dimana baginda tidak pernah melantik kepimpinan umum di kalangan wanita dan hal ini berterusan hinggalah jatuhnya empayar Islam Uthmaniyyah. Malah Rasul SAW dan para sahabat juga tidak pernah melantik ahli kenggotaan syura ( ahl al-hal wal aqd ) dari kalangan wanita.

Dr. Abd Qadir Abu Faris (bekas pensyarah Jami’ah Urduniah) juga berpandangan seperti Imam Hasan Al-Banna. Beliau menguatkan pandangan Imam Hasan dgn membawa persitiwa bai’ah aqabah kedua dimana Rasul SAW telah memilih 12 org ketua dan tidak pun melantik wanita sekalipun mrk hadir berbaiah. Begitu juga ketika Rasul SAW menghimpun sahabat dalam memutuskan keputusan dalam peperangan Uhud, Ahzab, Fath Makkah, Perang Hunain dll, Rasul tidak pun meminta pandangan dari kaum wanita. Dr. Abd Qadir bukan sahaja tidak menyetujui kepimpinan wanita di peringkat tafwid malah juga pringkat tanfiz. (rujuk an-nizom as-siyasi fil Islam, hlm 335)

Dr.Yusoff Al-Qaradhawi dalam kitabnya Min Fiqh al-dawlah fil Islam, mempunyai pandangan yang berbeza, beliau berpandangan bhw dalam konteks kepimpinan dunia hari ini, beliau lebih cenderung membenarkan wanita memeganag kesemua jwt termasuk Perdana Menteri atas alasan…bhw kepimpinan hari ini bukanlah bersifat memutuskan keputusan dengan kuasa vetonya tetapi mrk mempunyai kabinet atau majlis syura yang menentukan dasar dan bukannya hak Perdana Menteri melakukan seweanang2nya tetapi alasan ini tidak boleh diguna pakai dlm sebuah negara komunis atau autokratik yang memberi peluang serta kuasa sepenuhnya kepada Presiden/Perdana Menteri.

Dr. Yusoff Al-Qaradhawi berhujjah dgn dalil berikut :-

1. Kisah kepimpinan wanita di peringkat tertinggi iaitu Ratu Balqis, digambarkan sebagai seorg pemimpin yang berwibawa serta mampu membawa kaumnya kpd kebaikan dunia akhirat. Firman Allah SWT:

Mafhum : Berkatalah kami (lelaki) yang mempunyai kekuatan, sesungguhnya kami serahkan urusan ini kepdamu ( ratu balqis) …” berkatalah Balqis “ Demi Tuhanku sesungguhnya aku telah berlaku zalim terhdp diriku nescaya kini aku akan beriman kpd Allah bersama Nabi Sulaiman”

2. Menolak sifat umum pada hadith riwayat Bukhari tadi dgn hujjah :
a. Beliau menyatakan bahawa perkara menggunakan umum hadith untuk melarang kepimpinan dari kalangan wanita adalah tidak disepakati sepenuhnya. Selain itu, sekiranya ia diambil dgn pengertian umum lafaz sahaja maka akan bertentangan dgn kisah tawladan Ratu Balqis sebagai pemimpin tertinggi yang berjaya. Ratu Balqis digambarkan oleh Allah sebagai berkata :

Mafhum : “Wahai pembesar berikanlah pandangan kpdku dlm urusan ini, aku tidak pernah memutuskan sesuatu perkara sebelum kamu hadir memberi pendapat dan mempersetujuinya” ( An-Naml 32)

b. Mengambil kaedah fiqhiyyah ?????? ????? dan bersandarkan kepada fiqh waqi’ , reality hari ini kebanyakan wanita menyumbang kebaikan yang banyak untuk negara malah adakalanya lebih daripada lelaki, bahkan mereka juga ada yang lebih berkelayakan dari pelbagai sudut berbanding lelaki.


  1. Hadith tadi juga memberi mafhum ketika wujudnya kepimpinan Khilafah Islam, dalam konteks wanita menjadi imamah uzma iaitu khalifah. Hal ini sememangnya disepakati larangannya, tetapi selepas ketiadaan khilafah tahun 1924 M, sebahagian ulama’ telah meng ‘qias’ kan kepimpinan ratu Balqis sebagai Presiden yang punyai kuasa memberi persetujuan terhadap sebarang pelaksanaan dasar dilakukan. Justeru, dalam ketiadaan khilafah, negara2 umat Islam hanyalah bertaraf seperti Gabenor di wilayah yang terhad.

    Dengan itu, wanita adalah boleh memegang jwtn menteri, Qadhi atau lain-lain.

    4. Dalam masyarakat di bawah system demokrasi hari ini, apabila wanita dilantik ke jawatan kementerian, Parlimen, Pentadbiran atau lainnya, ia tidak bermakna ia memegang jwt ini secara veto, hakikatnya ia adalah kepimpinan secara kolektif, yang mempunyai sebuah institusi dlm menentukan tindakan. Justeru, menurut al-Qaradhawi, ia tidak bertentangan dgn Hadtih wp menurut apa jua tafsiran.

    Dr. Mohammad Hashim Kamali (UIA) pula berpandangan wanita dibenarkan memeganag apa-apa jawtaan kecuali Perdana Menteri dan jwt hakim. Manakala jwt2 lain seperti gabenor, wilayah hisbah, wilayah mazalim adalah perkara yang diperselisihkan antara ulama’. (Freedom, Equality and Justice In Islam, hlm 89)

    Al-Imam As-Syawkani (1255 H) di dalam Nailul Awtar menyatakan selain hadith di atas yang menjadi dalil tidak harus wanita memegang tampuk pemerintahan, fuqaha’ juga berdalilkan satu hadith lain iaitu Mafhumnya :
    Dari Buraidah dari Nabi SAW : “Qadhi (hakim) itu tiga, satu di dalam syurga, dau darinya di dalam neraka, maka mrk adalah lelaki yang mengtahui kebenaran lalumenghukum dgn nya,…..” ( Riwayat Ibn Majah, Abu Daud, Tirmizi, Nasaie dan al-Hakim ) Justeru sebutan di dalam hadith membuktikan jwt qadhi dan hakim hanya utk lelaki, demikian juga pemerintah.

    Begitulah serba sedikit perselisihan ulama’ dlm menentukan kedudukan wanita di peringkat tertinggi, sebenarnya ia berlaku akibat demi menjaga kemaslahatan umat manusia, iaitu urusan mentarbiyah anak-anak terutamanya, dikira sgt penting oleh para ulama’. Lelaki memimpin sebuah negara beserta rakyatnya, ia sememangnya sesuai dgn tenaga, mental dan fizikal mereka, manakala wanita pula memimpin individu2 yang menjadi rakyat bersendikan seni halus mereka, kemampuan fizikal yang terhad, serta maruah sbg wanita yang sgt mudah tercemar, lalu amat sesuai kiranya difokuskan ke bidang tersebut. sekiranya salah satu gagal, maka akan sukarlah negara mencapai kebaikan.

    Bidang tarbiyah anak dan menjaga keamanan rumah tangga jgn dipandang remeh, malah ia sebenarnya amat sukar, mungkin hampir menyamai kepimpinan sebuah negara. Pandangan remeh terhdpnya adalah kesilapan utama wanita moden zaman kini hingga terlalu berhasrat menjaga negara sedangkan anak2nya menjadi perosak negara.!!

    Dr. Yusof al-Qaradhawi juga tidak lupa menyatakan syarat kepimpinan wanita, adalah mereka juga tidak gagal dlm mentadbir anak-anak hinggakan beliau meletakkan umur sekitar 45 ke atas adalah umur yg sesuai.

    Jika dilihat daripada umum lafaz hadith, menurut jumhur ulama’ usul fiqh kecuali ulama’ hanafiah, umum lafaz membawa ‘dalalah zanniyyah’ maka harus untuk ikhtilaf padanya (rujuk al-Syeikh Saifudin al-Amidi, al-Ihkam fi Usul al-ahkam)

    Apapaun, kesesuaian persekitaran merupakan factor penting dalam menentukan keharusan wanita samada dalam menjadi pemimpin (bukan peringkat tertinggi dan bukan qadhi, hakim), calon, ahli parlimen dan sebagainya, kerana jika ia harus pada asasnya, tetapi ia mungkin akan menjadi haram krn sebab2 luaran yang mendatang, ia disebut ‘Haram Li Ghairihi’ di dalam ilmu Usul Fiqh.

    Adakah Mereka Boleh Berpolitik, keluar rumah dan seumpamanya?

    Kesimpulan bagi isu ini adalah, menurut pandangan al-qaradhawi dalam Fiqh ad-dawlah, dibenarkan bagi wanita untuk keluar rumah (syarat dgn redha suami jika sudah bersuami dan ayah jika belum) dengan syarat menjaga adab dan malu, serta tidak memakai perhiasan seumpama golongan Jahiliyyah.

    Ummul mukminin Saidatina A’isyah ra, selaku isteri nabi yang terfaqih dan terbanyak meriwayatkan hadith sendiri keluar dari rumahnya di Madinah bermusafir ke Basrah, mengetuai bala tentera yang bersamanya ramai sahabat termasuklah 2 orang sahabat yang dijanjikan syurga iaitu Talhah dan Zubair al-awwam, mereka berdua juga merupakan calon khalifah yang diletakkan oleh Khalifah Umar ra. A’isyah keluar dengan maslahat umat Islam, lalu tindakan ini sudah tentu menggambarkan betapa wanita dibenarkan berperanan tetapi dlm had2 yang dijaga. Maka dlam hal keluar dakwah, berpolitik untuk memenangkan Islam juga mempunyai maksud syarak yang penting.

    Bab wanita menjadi calon, asasnya adalah dibenarkan sebagaimana hujjah2 di atas. Dalam hal ijtihadi ini dan dalam keadaan semasa yang mengizinkan wanita untuk menjadi calon, maka adalah sewajarnya wanita dapat memainkan peranan dlm bidang ini. Terutamanya dalam keadaan masa begitu ramai wanita2 terpelajar yang keliru dan ragu akan hak yg diberikan Islam terhdp kaum Hawa. Kita bimbang, kejumudan ijtihad serta taqlid hukum tanpa meninjau keperluan semasa dlm perkara yang termasuk maslahah mursalah akan menjauhkan manusia dr Islam.

    Imam Al-Qarafi al-Maliki mengingatkan umat Islam bhw hukum ijtihadi bertukar menurut zaman dan masa, bersesuaian dgn masalahat untuk Islam di zaman tersebut, kejumudan akan membawa kesesatan dlm agama , lalu dgn berdalilkan maslahat mursalah, atau maslahat muktabarat wanita seharusnya dibenarkan mengetuai sekelompok masyarakatnya dalam bentuk penampilan yg diterima syarak dan jalan pelaksanaan tugas yg dibantu oleh kaum adam. Hal perubahan hukum dengan perubahan maslahat juga ditegaskan oleh Imam Ibnu Qayyim dan Az-Zaila’ie al-Hanafi .

    Malah, di bidang pekerjaan juga wanita diberi hak untuknya, dalam syarat agar menjaga tatasusila sebagai sebagai seorg wanita muslimat serta tidak menyalahi syarak padanya.

    ii. Hak Bukan Islam di dalam negara Islam

    Hak mereka yang tidak beragama Islam di dalam sebuah negara yang mendawlatkan hukum-hakam Islam adalah seperti berikut secara ringkas :


a. Dipelihara daripada permusuhan dr luar negara.
b. Dipelihara daripada kezaliman dalam negara.
c. Dipelihara darah dan tubuh mereka dari disakiti.
d. Dipelihara harta benda mereka.
e. Dipelihara maruah mereka.
f. Diberi hak kebebasan beragama dan mengamalkan agama mereka.
g. Diberi hak kebebasan dalam kerjaya.
h. Diberi hak memegang jawatan dalam negara.
i. Jaminan penunaian hak-hak yang tersebut di atas.
j. Jaminan mendapat pengadilan seadilnya di dalam bidang kehakiman serta tidak dikenakan hudud kecuali apabila diminta dgn rela mereka sendiri.

Manakala kewajiban mereka di dalam sebuah negara kebajikan Islam :
a. Membayar cukai jizyah (cukai perlindungan diri menurut kadar kemampuan diri– spt zakat bg umat Islam) dan kharaj (cukai harta ke atas tanah atau cukai tanah)
b. Redha dan iltizam dgn hukum-hakam Islam dalam bidang urus niaga dan yang berkaitan kepentingan bersama terhadap negara dan masyarakat.
c. Menghormati syiar2 Islam dan perasaan umat Islam.

Mereka yang dibenarkan menjadi ahli zimmah adalah Yahudi, Nasrani, Majusi menurut ittifaq ulama’ berdalilkan ayat ke 29 surah at-taubah. Manakala orang2 Murtad dibatalkan kerakyatannya dan tidak diterima menjadi ahli zimmah, jln keluar bg mereka hanyalah kembali kpd Islam. Manakala golongan kafir yg lain spt as-sobi’in, Musyrikin, Dahriyyah (atheis) dan lain-lain adalah ikhtilaf di kalangan ulama’ .

Adakah Kafir Dzimmi dibenarkan menjadi pemimpin?

Harus bagi kafir dzimiyyun dlm sesebuah pemerintahan Islam untuk memegang tampuk kepimpinan selain kepimpinan peringkat Tafwid. Bgmnpun mestilah ia mempunyai kelayakan yang cukup untuk tugas yg bakal diberikan. ( Lihat ahkam as-Sultaniyah, al-Mawardi hlm 20, juga Ma’alim ad-Dawlah Islamiyyah, Prof. Dr Muhd Salam Madkur, hlm 104) Mereka juga dibenarkan untuk menjatuhkan hukuman di antara kumpulan bukan Islamdgn syarat ia mempunyai kelayakan, bgmnpun mrk tidak dibenarkan menjatuhkan hukuman kiranya ia berkaitan dgn urusan Muslimin. ( Prof. Salam Madkur, al-Qadha’ fil Islam)

ISLAM DAN DEMOKRASI

Persoalan yang berkisar dalam tajuk ini adalah :
- Adakah Islam menerima demokrasi atau bertentangan dengannya secara total?
Sebuah Hadith menyatakan :

Mafhum : “Kebijaksanaan adalah spt barang tercicir bg umat Islam, lalu dimana muslim menjumpai kebijaksaan, maka mrk yang paling layak untuk mengambilnya”

Islam berpendirian terbuka dalam pekara2 baru serta meneliti adakah ia terkandung dalam bidang hukum haram, halal, harus atau sebagainya. Dalam masalah system pemerintahan cara demokrasi yang merupakan kaedah pemerintahan yang sgt meluas kini. Sebaranag penerimaan atau penolakkannya adalah merujuk kepada intipati system tersebut. Berikut adalah perbincangan ringkas mengenainya:

CIRI UTAMA DEMOKRASI DAN MAWQIF ISLAM

a. Pemerintah dari kalangan rakyat.
Asas ini diterima oleh Islam sebagaimana Sabda Nabi SAW :

Mafhum : Sebaik2 pemimpin kamu adalah mrk yang kamu sukai, dan mereka( pemimpin) juga menyukai kamu, kamu mendoakan mrk, begitu juga mrk, manakala seburuk2 pemimpin adalah mrk yg kamu benci dan mrk juga benci kpdmu, kamu melaknat mrk, mereka juga melaknat kamu” (Riwayat Muslim)

Begitu juga dgn hadith :

Mafhum : “Tiga kumpulan yang tidak diangkat solatnya walapaun sejengkal di atas kepala mrk, …disebut pertamanya, lelaki yang mengimamkan kaum, dlm keadaan kaum membencinya”

Jelas dr hadith tadi Islam juga menitik beratkan kepimpinan rakyat yang disukai oleh rakyat, justeru reality semasa bagi mengetahui kesukaan rakyat kepada seseorang pimpinan adalah melalui kaedah pengundian. (bab undi akan disentuh selepas ini)

b. Pemerintah bekerja untuk rakyat.

Ciri ini juga diterima Islam sebagimana konsep kepimpinan Islam, adalah mereka menjadi petugas bagi kebaikan rakyat. Sebuah Hadith :

Mafhum : “Pemimpin kaum adalah org yg berkhidmat (khadam) bg kaum.” ( Dari abu Qatadah, dikeluarkan oleh Al-Khatib al-Bahgdadi dan abu Nuaim dlm Arbai’en as-Sufiyyah)

Khalifah Abu Bakar as-siddiq, berkata : Wahai manusia, aku bekerja untuk keluargaku maka aku mencari penghasilan untuk makanan mereka, sekarang aku bekerja untuk kamu, maka tetapkanlah buatku dari Baitul Mal kamu”

Khalifah Uthman ra juga pernah menegaskan bahawa : “ Urusan aku adalah menuruti urusan kamu”

Abu Muslim al-khawalani, seorg faqih tabi’ein masuk menemui Muawiyyah ra. lalu berkata :

Mafhum : “Asallamualaikum wahai org gaji”

Malah pemimpin Islam bertanggung jawab menyelamatkan rakyatnya dgn memberikan bantuan apabila mereka dalam kesusahan sbgmn firman Allah dr ayat 33, surah al-maidah, juga merupakan kewajiban pemimpin untuk memberi nasihat2 kpd rakyat sebagaimana hadith riwayat Bukhari dan Muslim yang masyhur dan juga mengguatkuasakan undang2 bagi mencegah keburukan dunia akhirat dari berlaku terhadap rakyatnya.


Sabda Nabi SAW :

Mafhum : “Tiada seorg manusia pun yg Allah memberikannya kuasa pemerintahan, kemudian ia tidak memberikan nasihat Islam (kpd rakyatnya) kecuali tiadalah ia mendpt cium bauan syurga” ( Riwayat Bukhari dan Muslim )

Cuma perbezaannya, pimpinan Islam bekerja untuk rakyat kerana Allah manakala demokrasi tidak bekerja untuk Allah pada konsep asalnya tetapi bebas menurut pengamal demokrasi tersebut.

c. Suara majoriti adalah terpakai.

Asalnya Islam tidak meletakkan suara majority sbg pemutus dalam semua pekara. Ia tidak tepakai dalam perkara2 thawabit . Ia tidak boleh berubah menurut zaman dan masa, ia adalah perkara yang mesti dilakukan serta tiada ruang ihtimal. Manakala perkara mutaghayyirat adalah perkara dr Nusus Zanniyyah spt Nas umum (menurut jumhur), lafaz bersifat Mutlaq terutamanya dalam perkara ijtihadiyyah dan baru . serta perkara2 bersifat strategi kepimpinan dan politik yang tiada nas qati’e.

Firman Allah SWT :

Mafhum : “Sekiranya kamu mentaati majority di atas muka bumi, nescaya mrk akan menyesatkan kamu, mrk tiada menurut kecuali sangkaan…”

Justeru, Islam menerima suara majority dalam hal ‘mutaghayyirat’ tetapi dgn syarat2 tertentu, menurut keadaan dan maslahat seperti hanya undian di kalangan ‘ahl al-hal wal al-aqd’ atau dalam menentukan bentuk2 tindakan dan bukannya bersifat hukum. Juga dlm urusan melantik pimpinan atau juga urusan kemaslahatan rakyat seperti membina lebuh raya dan menetapkan cukai tol.

Ini bermakna unsur ini juga diterima oleh Islam Cuma dalam ruang lingkup yang terhad, ini kerana aqal manusia tidak mampu mengetahui seluruh kebaikan untuknya, lalu hanya Allah swt yang mengetahui kebaikan sebenar untk manusia, dlm keadaan Allah tidak menafikan fungsi aqal dlm menentukan tindakan terhadap perkara baru dgn tidak melanggar nas atau ‘maqasid syariat’.

d. Rakyat diberi hak kebebasan sewajarnya.

Islam juga mengiktiraf kebebasan individu samada dalam menegur pemerintah, kerjaya yg halal, beragama dan mengamalkan, pemilikan harta dan banyak lagi.

Bagaimanapun demi menjaga ketenteraman manusiawi samada rohani dan jasmani maka kebebasan yang dianjur oleh Islam mempunyai batasannya. Secara ringkas batasannya terkandung dalam 5 perkara dharuriyyat :

i. Aqidah : Bermakna disekat kebebasan bg keluar atu menggugat aqidah Islam samada murtad atau memerangi Islam. Juga tidak dibenarkan merosakkan aqidah umat.
ii. Nyawa : Kebebasan Islam tidak membenarkan membunuh tanpa hak, membunuh diri, menyakiti individu lain tanpa hak, maka tidak dibenarkan juga menyerang sesama manusia tanpa sebab.
iii. Aqal : Kebebasan Islam tidak membenarkan umatnya merosakkan aqalnya samada dgn meminum arak, dadah atau apa jua yang memabukkan, tidak juga bebas meihat atau melakukan sesuatu yang boleh merosakkan aqal.

iv. Maruah : Kebebasan Islam juga tidak membenarkan mencabul kehormatan sesama manusia, tidak juga dibenarkan berzina, menuduh zina tanpa saksi, mengumpat, memfitnah, dan mencari-mancari kesalahan manusia.
v. Harta : Kebebasan Islam tidak membenarkan merampas harta, curi, rompak, memeras, menipu, menindas secara riba dan seumpamanya.

Lalu, secara teori umum, Islam menerima kaedah ini tapi diperincikan bersama pengecualian2 demi kemaslahatan manusia.

e. Rakyat berhak menegur kepimpinan yang silap serta berhak menjatuhkannya.

Item ini jelas, bertepatan dgn Islam, ia bertitik tolak dr kepimpinan adalah amanah dan tangung jawab, sebarang penyelweangan mesti ditegur oleh rakyat. Rasulullah sendiri menerima pandangan dann teguran para sahabat dalam beberapa persitiwa yang terkenal antaranya, teguran Habbab Ibn Munzir dalam menentukan kubu terbaik dlm peristiwa perang badar, begitu juga teguran suad dlm kes ditolak dgn busar oleh Rasul dan banyak lagi.

Hak teguran ini digalakkan begitu hebat di zaman Khalifah Islam yang pertama Abu Bakar As-Siddiq dimana beliau menyatakan dlm ucapannya yg mashyur :

Mafhum : “Sesungguhnya aku hanya dilantik dr klgn kamu, bukanlah aku yang terbaik dr kamu, kiranya aku berada di landasan kebenaran maka bantulah aku, taatilah aku selagi mana aku mentaati Allah dan RasulNya, maka apabila aku menderhaka Allah maka tiadalah wajib lagi taat kpdku”

Islam mempunyai sikap tegas terhadap para pemerintah zalim dan bersifat autokratik atau dictator. Sabda Nabi SAW :

Mafhum : “Sekeras2 manusia yang dikenakan azab di akhirat kelak adlh pemimpin yg zalim”

Bagaimanapun rakyat yang ingin menegur pimpinan negara Islam seeloknya menjaga adab2 teguran yang sesuai tetapi jika ia tidak diendahkan, Islam membenarkan pimpinan tersebut diturunkan kerana ia dianggap kepimpinan negara Islam yang menyeleweng, demikianlah pandangan Syeikh Sa’id Hawwa di dalam kitabnya Jundullah hlm 380. Beliau juga menambah bahwa proses menurunkan perintah itu boleh dibuat secara aman. Prof. Dr. Muhd Salam Madkur menegaskan adalah suatu kewajiban untuk menurunkan pemimpin fasiq dengan syarat kita mempunyai bukti tentang kefasiqan serta pemimpin tersebut tidak lagi boleh diberi nasihat. Demikian juga pandangan Imam Abu Hanifah , Imam al-Qurtubi ,


Imam Abu Hamid al-Ghazali (505 H) , Imam as-Syawkani (1255 H) dan Dr. Yusoff Al-Qaradhawi . Manakala Abu Yu’la al-Farra al-hanbali menuruti pandangan Imam Ahmad Hanbal yang tidak menentang dan menjatuhkan khalifah Makmun dan Mu’tasim. Imam Al-Mawardi ( 450 H) menyebut dalam sesebuah negara Islam yang menyeleweng seorang khalifah itu boleh diturunkan jika berlaku kezaliman dan fasiq .


Sikap Islam terhadap :

Pilihanraya
Ia adalah suatu proses meraih sokongan dan keyakinanan rakyat bagi membolehkan seseorang pimpinan dipilih mengetuai sesebuah negara atau kawasan2 tertentu atau organisasi2 tertentu. Islam melihat perkara ini kepada maqasid atau maksud sesuatu pelaksanaan itu dibuat. Lalu dalam hal ini maksud pilihanraya yang utama adalah proses melantik pimpinan yang diyakini rakyat. Sikap Islam dalam hal ini adalah jelas menerima dan sememangnya Rasulullah di permulaan dakwah juga melakukan kempen serta lobi bg menerangkan kpd rakyat Mekah malah luar Mekah agar meyakini baginda dan seterusnya menganut Islam.

Mengenai kaedah mengundi bg urusan pilihanraya, ia juga diterima oleh Islam memandangkan ia merupakan satu perkara baru dalam hal keduniaan serta tiada nas qat’ie yang melarang, maka Islam tiada masalah dalam menerima kaedah baru ini apatah lagi ia boleh di ‘qias’ kan dalam perkara KESAKSIAN. Firman Allah : Mafhum : “Bersaksilah dgn mrk yang adil dr kalangan kamu”

Undi merupakan satu kesaksian rakyat terhadap penerintah yang dipilihnya dari sudut Islam, kebaikan dan kelayakan si calon, dan Islam meletakkan pertimbangan undian atau kesaksian tidak boleh kerana lain dr Allah sbgmn firman Allah : Mafhum : “Berikanlah penyaksian krn Allah….”

Maka tidak boleh pula rakyat tidak keluar mengundi apabila berkemampuan sebagaimana tidak harus saksi2 enggan memberikan penyaksian sbgmn firman allah : Mafhum : “Jgnlah kamu enggan memberikan penyaksian, brgsp yg menyembunyikannya maka berdosa hatinya …”

Amat jelas terang lagi nyata, Islam dlm hal undian dan pilihnaraya membenarkan malah samapi ke tahap wajib menyertainya dan keluar mengundi apabila keengganan itu boleh menyebabkan ketewasan calon yang bertaqwa dan ingin melaksanakan Islam. Manakala sekiranaya Islam merintah, system tersebut boleh diterusan Cuma perlu diletak beberapa syarat dan panduan lalu, insyaAllah ia akan bertepatan dgn Islam sepenuhnya.

Demontrasi Aman
Imam Hasan al-banna pernah mengeluarkan arahan kpd semua cawangan Ikhwan agar keluar berdemonstrasi dalam kes Perdana Menteri Mesir, al-Nuhas Baysa yang enggan langsung masuk campur dalam hal revolusi di Palestin. Ia dilakukan demi memprotes sikap Nuhas dan kenyataannya yang melemahkan umat Islam Palestin.

Dari sudut Islam, demonstrasi aman adalah tidak lain seumpama ibadat haji. Bermula di zaman Nabi, umat Islam berpakaian ihram (membuka sebelah bahu) sambil melaungkan slogan2 membesarkan Allah, dan berlari-lari anak, tidak lain hanyalah untuk membesarkan Allah dr segala sesuatu serta menunjukkan kehebatan Islam. Qias dlm perkara ibadah yang ‘mempunyai logic’ ( ma’qul al-ma’na) adalah harus menurut mazhab Syafie dan mazhab2 lain. (Lihat Nihayat al-Sul syrah Minhaj lil Badhawi, Qadhi Jamaluddin Al-Asnawi, Bab Qias) Jika maksud itu sama dalam siri2 demonstrasi aman maka ia jelas diterima Islam seperti demonstrasi menuntut pemerintah yang lupa agar kembali ingat kpd Allah. Cuma pelaksanaannya shj yang perlu aman serta tidak mencederakan sesiapa dan meroskakan harta benda. Sekiranya hanya berkumpul, tana senjata, tanpa melakukan apa2 kerosakkan tetapi hanya laungan slogan dan takbir yang merupakan syiar kekuatan Islam, sudah tentu ia tidak bermasalah.

Ahli Parlimen
Ahli Parlimen adalah seorang pimpinan seumpama gabenor wilayah di zaman khilafah Islam, Cuma bezanya ahli parlimen akan berkumpul di Dewan Rakyat bg mewakili rakyat dalam beberapa perkara:
a. Menggubal dan memperbahasakan undang2 baru.
b. Mengawasi undang2
Kedua2 perkara tersebut adalah termasuk didalam tugas pemerintah di bawah sebuah kerajaan Islam. Sudah tentu gabenor2 wilayah akan bertindak sbg ahli al halli wal aqd iaitu kabinet utama khalifah. Tugasnya juga sama iaitu menggubal undang2 baru yang tidak ditentukan oleh Allah secara qa’tie dan juga mnegawasi undang2 iaitu amar makruf nahi mungkar.

Berbilang Jemaah Dalam Menuju Dawlah Islam dan setelah wujud Dawlah.
Hakikatnya berbilang jemaah adalah seumpama berbilang mazhab, ia hanyalah persoalan perbezaan kaedah dlm mengamati sesuatu hukum, ia sememangnya tidak bermasalah sebelum wujudnya dawalh Islam, tetapi ketika wujudnya kerajaan Islam, ia masih lagi boleh diterima dgn syarat2 tertentu seperti :
a. Tidak bertelingkah antara satu sama lain.
b. Perbezaan hanyalah dalam perkara ijtihadi yang tidak dapat disepakati
c. Kesemuanya berperanan terhdp kebaikan Islam dgn menyatukan umat di bawah pemerintah kerajaan Islam. Keweujduannya tidaklah memceahbelahkan umat Islam dr wala’ terhdp pimpinan kerajaan Islam yang adil.
d. Ia tidak bekerja memusuhi kerajaan Islam adil dan umat dlm apa jua bentuk.
e. Asas kepada jemaah tadi mestilah Islam.

Demikianlah, perbincangan secara padat dan ringkas sbg muqaddimah terhdp tajuk yang panjang ini, malah ia berkait dgn pelbagai tajuk2 kecil yang lain, justeru, penulisan ini hanya menumpukan beberapa aspek shj. Semoga ia dpt dimanfaatkan oleh para pembaca.

Segala yg benar dari Allah, yang silap adlh dr kelemahan diri dan gangguan syaitan.

Wassalam.

Irbid
03022002